Reportase
Atribut Kepemimpinan Sebagai Dasar Sinergi
Antara Pemimpin Klinik dengan Direktur RS Pendidikan dan Rujukan
Pertemuan 2: Pandangan Dekan dan Pimpinan AIPKI
Video Materi Video Pembahasan Video Diskusi
Pada Rabu, 16 Agustus 2017 telah berlangsung pertemuan kedua seminar atribut kepemimpinan sebagai dasar sinergi antara pemimpin klinik, dengan direktur rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan di ruang senat utara FK UGM. Seminar ini merupakan sesi lanjutan dari pertemuan pertama pada 26 Juli 2017 dan bertujuan untuk mendengar pandangan dari Prof. Ova Emilia M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D. selaku Dekan FK UGM dan Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si. selaku Ketua AIPKI terhadap pokok bahasan atribut kepemimpinan yang telah dipresentasikan sebelumnya oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Ketua Departemen HPM FK UGM). Kegiatan ini dilakukan melalui webinar dan diikuti secara online oleh direksi rumah sakit pendidikan dan rujukan nasional, dewan pengawas rumah sakit pendidikan, pemimpin klinis dan peserta terkait.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro memaparkan di rumah sakit mengenal dua kategori pemimpin yakni direksi rumah sakit yang lebih banyak berperan pada sektor manajemen dan pemimpin klinis yang fokus untuk mengelola pelayanan medis. Sinergitas antara aktivitas pendukung (manajemen) dan aktivitas pelayanan sangat penting untuk dilakukan terutama dalam upaya pengembangan layanan unggulan rumah sakit. Situasi saat ini menunjukkan kompetensi direktur rumah sakit sudah diatur melalui Permenkes 971/2009, namun regulasi tersebut tidak secara spesifik membahas tentang kompetensi direktur rumah sakit pendidikan yang juga menjadi rumah sakit rujukan nasional. Sedangkan keberadaan clinical leadership masih sangat baru, dan proses kajiannya juga baru mulai dikembangkan.
Hasil survei self assessment yang dilakukan oleh PKMK FK UGM menunjukkan lemahnya atribut kepemimpinan pada beberapa aspek misalnya kemampuan menggerakkan komitmen orang lain, komitmen para direktur rumah sakit pendidikan jaringan yang berada di koordinasinya dan kemampuan menggerakkan komitmen spesialis untuk fokus pada pelayanan tersier. Isu yang bergulir adalah direktur yang terlihat kurang bergairah untuk memimpin rumah sakit pendidikan dan rujukan (jam buka pelayanan menjadi singkat/tidak semua layanan digerakkan), serta ketidakmampuan direktur rumah sakit menarik spesialis untuk fokus pada rumah sakitnya (para spesialis lebih memilih turun ke pelayanan sekunder). Solusi usulan pengembangan selanjutnya yang ditujukan kepada Kementerian Kesehatan yaitu perlu diarahkan pada penyusunan kriteria yang relevan untuk diujikan saat proses pemilihan pimpinan rumah sakit terutama direktur utama dan indikator kinerja yang lebih rinci untuk memonitor kinerja direksi dan spesialis.
Prof. Ova Emilia M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D. menjelaskan pendidikan tentang kepemimpinan sebenarnya tidak hanya diperoleh pada saat menempuh studi namun juga bisa didapat pada saat bekerja. Selain pendidikan yang berbasis untuk memenuhi kompetensi utama, fakultas kedokteran juga memfasilitasi pengajaran softskills. Masalah besarnya terletak pada pengaruh sistem dan manajemen di tempat kerja yang kurang membangun sehingga mengakibatkan pembinaan clinical leadership menjadi terhenti. Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., MAS. selaku moderator seminar, menambahkan proses pengembangan clinical leadership dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu secara natural, model lecturing, dan model kontingensi.
Lantas, sistem seperti apa yang seharusnya dibangun? Prof. Ova Emilia M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D. menyebutkan rumah sakit pendidikan dan fakultas kedokteran perlu menyusun rencana strategis bersama tentang inovasi pengembangan ke depannya. Kemenristek Dikti menyusun pilot academic health systems dimana selain tujuannya untuk mengglobalkan jaringan, namun juga berfungsi untuk mengakomodir kerja sama antara rumah sakit pendidikan dan fakultas kedokteran termasuk dalam program pengembangan.
Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si. menyampaikan AIPKI telah mempunyai pokja rumah sakit pendidikan dan pokja pendidikan dokter spesialis yang diharapkan dapat mendukung clinical leadership. Tantangan lainnya pada sisi supply yang terjadi akibat kurangnya minat spesialis untuk bergabung menjadi dosen (hanya 2%). Sebagian besar lebih memilih menjadi fungsional, oleh karena itu perlu adanya perubahan sistem di tingkat institusi. Bagaimana mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, sementara jumlahnya saja terbatas. Beberapa upaya kebijakan sebenarnya sudah dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan jumlah seperti penandatanganan pernyataan komitmen kesediaan untuk menjadi dosen, pendampingan pada 10 besar lulusan terbaik, serta pemberian beasiswa tugas belajar dari Kemenristek Dikti.
Bagaimana kriteria direktur yang diharapkan? Direktur rumah sakit idealnya mempunyai kompetensi yang baik di bidang manajemen, berintegritas, menjadi role model, memiliki visi pendidikan dan penelitian selain visi pengembangan layanan (misalnya rujukan nasional), harus menguasai regulasi yang sangat kompleks, berani mengambil risiko, serta mampu berinovasi.
Penyelesaian terhadap masalah-masalah yang terjadi rumah sakit ini harus dilakukan secara komprehensif. Dimulai dari bagian hulu, fakultas kedokteran sebagai institusi pendidikan yang berperan pada bagian produksi sumber daya manusia kesehatan perlu merevisi sistem pembelajaran mulai dari sarjana sampai profesi, misalnya dengan menambahkan pendidikan pada aspek kepemimpinan, motivasi menjadi pendidik klinis, pembelajaran etika dan humaniora. Sementara itu, AIPKI juga turut berperan strategis dalam mengawal perumusan regulasi karena sudah tersedia pokja khusus yang mengelola.
Closing remarks, untuk jangka pendek berperan dalam mempengaruhi tim pansel pemilihan Direktur rumah sakit misalnya RSUP Dr. Sardjito karena sedang mengalami kekosongan Direktur. Rekomendasi dari Dekan FK UGM, AIPKI maupun Dewan Pengawas rumah sakit pendidikan dapat digunakan sebagai pertimbangan. Sedangkan untuk jangka panjang, proses penyusunan naskah akademik mengenai leadership akan tetap berjalan, kemudian diajukan kepada Dirjen Kementerian Kesehatan.
Reporter: Dian Mawarni