Hambatan RSUD menerapkan PPK-BLUD: kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan?
Anastasia Susty Ambarriani, PhD*
Saat ini Rumah Sakit Umum Daerah masih berada pada periode transisi dalam hal pengelolaan keuangan. Disebut periode transisi karena sejak 8-9 tahun lalu pemerintah telah menetapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU/D) sesuai dengan amanat UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit, namun hingga kini belum semua RS pemerintah menerapkannya. Pola pengelolaan keuangan BLUD merupakan keberlanjutan dari pengelolaan keuangan Badan layanan Umum (BLU) yang diatur dan didukung oleh Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2005, serta perubahannya yaitu Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2012.
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) merupakan bagian atau unit kerja dari perangkat daerah dan status hukumnya tidak terpisah dari Pemerintah Daerah. BLUD dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang ditawarkan tanpa mengutamakan keuntungan. Sebagai bagian dari perangkat daerah, Badan layanan Umum Daerah (BLUD) mempunyai perbedaan dari unit kerja Pemerintah Daerah lainnya, yaitu perbedaan dalam hal pengelolaan keuangan. Pola keuangan BLUD memberikan fleksibilitas dengan menggunakan prinsip bisnis yang sehat, yaitu efisiensi dan produktivitas. Pola keuangan yang fleksibel ini mempunyai konsekuensi pelaporan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel.
Rumah Sakit Umum Daerah, sebagai unit kerja Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan kesehatan, diharapkan dapat memberikan pelayanan yang cepat dengan kualitas yang prima kepada masyarakat. Demi mencapai tujuan tersebut, Rumah Sakit Umum Daerah perlu diberi kesempatan untuk melakukan pengelolaan secara mandiri sehingga dapat mengembangkan profesionalisme pelayanan tanpa dihambat oleh faktor birokrasi. Melalui Badan Layanan Umum Daerah, diharapkan tujuan peningkatan mutu pelayanan dapat tercapai.
Dukungan Pemerintah terhadap fleksibilitas pengelolaan keuangan telah jelas melalui Peraturan Pemerintah tentang Badan Layanan Umum, permasalahannya adalah siapkah Rumah Sakit Umum Daerah untuk menjalankannya. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa sampai Desember 2014 Rumah Sakit daerah yang menerapkan BLUD sudah 279 RSD atau 44% dari total 639 Rumah Sakit daerah yang ada di Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa jangkauan pencapaian RSUD untuk menjadi BLUD masih lambat atau dapat dikatakan respon terhadap pola pengelolaan keuangan RSUD BLUD masih rendah. Rendahnya respon terhadap pola pengelolaan keuangan RSUD BLUD ini perlu dikaji penyebabnya. Beberapa keluhan yang sering muncul adalah kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit. Kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan tentu tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang singkat mengingat tidak banyak pula akuntan profesional yang tertarik untuk berkarier di rumah sakit.
Kurangnya tenaga akuntansi dan keuangan profesional di rumah sakit tidak seharusnya menghambat rumah sakit umum daerah untuk dapat mengelola keuangan rumah sakit secara efisien, produktif dan transparan. Perlu dicari cara atau solusi agar tenaga akuntansi dan keuangan yang tersedia di rumah sakit dapat dikembangkan menjadi tenaga yang semakin kompeten di bidangnya. Di masa yang akan datang, tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit, tidak hanya terbatas sebagai penyusun laporan keuangan, tetapi lebih luas lagi harus mampu menjadi penyedia informasi yang dibutuhkan oleh manajemen untuk melakukan perencanaan stratejik, penganggaran, pengendalian biaya dan pengambilan keputusan.
Peningkatan kompetensi tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit dapat didorong melalui kerja sama berbagai pihak. Pemerintah perlu memberikan dorongan melalui peraturan-peraturan yang ada. Melalui Peraturan tentang BLUD, sebenarnya Pemerintah telah memberi dorongan agar pengelolaan keuangan rumah sakit dilakukan sesuai praktek bisnis yang sehat, hal ini mendorong ke arah pengelolaan keuangan yang baik. Pihak Manajemen Rumah Sakit dapat mendorong peningkatan kompetensi tenaga akuntansi dan keuangannya dengan cara memberikan kesempatan bagi tenaga akuntansi keuangan untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, baik melalui program pendidikan dan pelatihan di luar, inhouse training, pelatihan jarak jauh ataupun program blended–learning, yaitu kombinasi pelatihan tatap muka dan jarak jauh, seperti yang digunakan oleh PKMK UGM dalam berbagai program pelatihannya. Selain itu, pihak Asosiasi Rumah Sakit Umum Daerah mungkin dapat memberikan dorongan melalui program pengakuan profesionalisme tenaga akuntansi dan keuangan, misalnya dengan menyelenggarakan program sertifikasi profesi akuntansi dan keuangan rumah sakit. Dengan adanya program sertifikasi tenaga akuntansi dan keuangan rumah sakit, maka tidak ada lagi kesenjangan kompetensi tenaga akuntansi akuntansi dan keuangan di berbagai rumah sakit dan tidak ada lagi alasan bagi rumah sakit untuk tidak mengelola keuangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan.
Banyak cara untuk mengatasi kekurangan tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit, dan kekurangan tersebut tidak seharusnya menghambat pengelolaan keuangan rumah sakit yang efisien dan produktif yang mengarah pada peningkatan mutu pelayanan. Dukungan Pemerintah, manajemen rumah sakit dan pihak asosiasi rumah sakit akan sangat berharga bagi peningkatan kompetensi tenaga akuntansi dan keuangan di rumah sakit.
* Konsultan dan Peneliti PKMK FK UGM