Laporan Hasil Penelitian
Sistem Remunerasi Dokter di RSUD di NTT
Tim Peneliti PKMK FK UGM* dan P2K3 Undana**
Abstrak
Latar Belakang. Sistem pembiayaan kesehatan nasional yang berlaku sejak 2014 mempengaruhi pendapatan RSUD. Sistem ini memaksa RSUD untuk menyesuaikan diri dalam penggunaan pendapatan tersebut, termasuk dalam alokasinya untuk membayar jasa dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban kerja dokter, mengidentifikasi sistem pembagian jasa dokter dan mengukur kepuasan kompensasi mereka.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional, yang menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari berbagai dokumen RS, sedangkan data kualitatif diperoleh dari FGD dengan 57 dokter, manajemen RS dan beberapa stakeholders eksternal kunci. Penelitian dilakukan di empat RSUD di NTT, dimana tiga diantaranya telah menerapkan PPK-BLUD.
Hasil. Keempat RSUD sudah berstatus sebagai RS Kelas C, 3 diantaranya telah ditetapkan sebagai BLUD, berkapasitas antara 106-145 TT, memiliki 2-5 dokter spesialis tetap dan 4-10 dokter umum & dokter gigi. Sebagian memiliki 2-4 dokter kontrak untuk melengkapi pelayanan. Lebih dari 50% berada pada rentang usia 30-39 tahun dan berstatus sebagai PNS. Dengan usia produktif dan jam kerja sepanjang jam pelayanan instansi pemerintah, kebanyakan responden menghabiskan waktu 5-8 jam di RS pemerintah dan ≤ 4 jam di RS lain/praktek pribadi. Di Poliklinik, 36% dokter menangani ≤ 10 pasien/hari dan 7% menangani > 30 pasien/hari. Pendapatan dokter meliputi gaji tetap, jasa medis, tunjangan, bonus dan lembur. Total pendapatan dokter umum terendah Rp 6,7 juta, tertinggi Rp 31 juta, dokter gigi terendah Rp 4 juta, tertinggi Rp 43,5 juta, residen terendah Rp 4 juta, tertinggi Rp 12 juta dan dokter spesialis terendah Rp 14 juta, tertinggi Rp 23 juta. RSUD yang terletak di wilayah dengan jumlah penduduk lebih banyak dan perekonomian lebih maju lebih menarik minat dokter karena ada potensi praktek swasta untuk menambah pendapatan. Penerapan JKN mempengaruhi besaran jasa yang diterima dokter. 65% responden merasa tidak puas dan sangat tidak puas terhadap cara pembagian, ketepatan waktu pembagian maupun kesesuaian nilai jasa terhadap beban kerja. Cara pembagian dianggap kurang transparan dan kurang dikomunikasikan. Sebagian dokter merasa kesempatan untuk meningkatkan karir dan pendidikan terbatas karena faktor latar belakang asal dokter dan kemampuan keuangan pemda.
Diskusi. RSUD belum memiliki atau sedang dalam proses mengembangkan sistem remunerasi yang lebih sesuai dengan era JKN. Pendapatan RSUD yang berasal dari klaim ke BPJS berdasarkan tarif INA-CBGs perlu diolah dalam formula tertentu agar tidak lagi berbasis volume kegiatan. RSUD perlu mencari ukuran kinerja yang dapat digunakan untuk menentukan besaran jasa yang dapat diberikan pada dokter. RSUD juga dapat mengembangkan sistem remunerasi non-finansial, berupa fasilitas kerja, kenyamanan hidup maupun kesempatan pengembangan karir yang selama ini sebagian sudah ada namun tidak masuk dalam sistem remunerasi. Pelibatan dokter dalam proses pengembangan dan implementasi sistem remunerasi ini menjadi faktor penting yang akan mendorong terjadinya transparansi dan pada akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan dokter.
Kesimpulan. Keempat RSUD belum memiliki sistem remunerasi yang dianggap sesuai dengan beban kerja dan sistem pembayaran JKN, namun semuanya sedang dalam proses pengembangan. Kepuasan dokter terhadap remunerasi masih rendah, salah satunya karena pengembangan dan implementasi sistem yang dianggap belum transparan.
Keywords: remunerasi, RSUD, JKN, NTT.
* Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, DR. Andreasta Meliala, MKes, dr. Finuril Hidayati, MPH, Putu Eka Andayani, SKM, MKes
** dr. SMF Koamesah, MMR, MMPK, Magdarita Riwu, S.Farm, Dedy Asanab, SKM, Stevie Ardianto Nappoe, SKM