SAMARINDA – Kasus kekerasan terhadap anak ibarat bara dalam sekam. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) kota Samarinda, mencatat sekitar 30 kasus kekerasan anak. Terbaru, kasus yang dialami anak usia 15 tahun, korban dibuat gigit jari lantaran rumah sakit menolaknya.
Korban, Aw, Minggu (22/5) kemarin, mendatangi salah satu rumah sakit, untuk melakukan visum. Serangkaian proses administrasi yang semestinya dia jalani, urung dilakukan lantaran pihak rumah sakit, tidak berkenan memproses visum Aw.
“Saya prihatin, ada anak usia 15 tahun, mengadu untuk pemeriksaan visum, tapi harus dibebankan biaya. Sementara, dia saat ini kabur dari rumah pamannya. Sementara, menumpang di tempat temannya,” kata Ketua KPAID Samarinda, Adji Suwignyo, kemarin.
Beruntung, kata Adji, dia bergegas dan sempat menyusul Aw, agar proses visum segera dilakukan. “Untungnya, saya cepat menyusul dan mengurus pemeriksaan visum mereka,” ujar Adji.
Berdasarkan pengalaman itu, Adji menaruh keprihatinan dan kekhawatiran, dengan nasib korban-korban kekerasan anak lainnya. Apalagi, lanjut dia, berdasarkan laporan yang diterima KPAID, tidak kurang 30 kasus kekerasan anak dialami anak yang masih berusia di bawah umur.
“Jumlah itu, sejak awal tahun juga termasuk kekerasan seksual. Setiap tahunnya, selalu meningkat,” jelas Adji.
Lantas, bagaimana dengan peran pemerintah? Menurut Adji, peran pemerintah, sebatas sosialisasi dan pembinaan dalam berbagai kesempatan.
“Tugas untuk melindungi anak, bukan cuma dari kami atau instansi sosial saja. Apalagi, anggota kami juga terbatas. Kalau bisa, ada perhatian pemerintah, yang lebih serius dari saat ini. Terutama, untuk pelayanannnya,” imbuhnya. (ms315)
Sumber: korankaltim.com