MAKASSAR, BKM– Limbah B3 (bahan berbahaya beracun) rumah sakit masih menjadi persoalan serius di Sulsel. Pasalnya, hingga saat ini belum ada alat pengelolaan limbah yang dimiliki pemerintah sehingga harus menggandeng pihak swasta.
Ujung-ujungnya, rumah sakit harus merogoh kocek yang cukup dalam atau membayar Rp30 ribu untuk satu kilogram limbah B3 yang dikelola pihak swasta.
“Rumah sakit harus membayar Rp30 ribu untuk satu kilogram limbahnya ke pihak swasta. Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan setiap hari hanya karena limbah,” kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Sulsel, Andi Hasbi Nur di ruang kerjanya, akhir pekan lalu.
Hasbi mencatat, dalam sehari, total limbah rumah sakit di seluruh Makassar bisa mencapai 7 ton.
“Itu sudah termasuk limbah di puskesmas dan pustu,” ungkapnya.
Hasbi melanjutkan, menyikapi persoalan yang ada, pihaknya mengusulkan ke pusat agar diberi bantuan insenerator atau pengelolaan limbah senilai Rp50 miliar untuk lima unit. Usulan itu diharapkan bisa diakomodir pemerintah pusat di APBN tahun depan.
Hasbi menjelaskan, jika usulan itu disetujui, lima alat pengolah limbah itu akan dimanfaatkan di lima zona wilayah. Masing-masing di Mammimasata, Ajattapareng, Bosowasi, Luwu Raya, dan Selatan-selatan.
Mekanisme penggunaannya dibawah komando BLHD. Rumah sakit tinggal memanfaatkan insenerator itu dengan sejumlah ketentuan. Misalnya, rumah sakit membayar Rp5.000 untuk setiap satu kilogram limbahnya. Angka itu dinilai cukup murah dibanding menggandeng swasta yang menetapkan tarif Rp30 ribu setiap kilogram limbah.
“Memang agak mahal kalau swasta yang kelola limbah rumah sakit karena dibawa ke Surabaya limbahnya,” kata Hasbi.
Namun, kata Hasbi itu baru gambaran. Terkait teknis dan mekanismenya, akan disusun lebih lanjut jika pusat mengapresiasi permohonan tersebut.
Lebih jauh, kata Hasbi, sebagian besar rumah sakit belum bisa mengelola limbah B3 secara mandiri dan maksimal. Pasalnya, alat pengelola limbah insenerator cukup mahal. Di Sulsel tercatat baru RS Wahidin Sudirohusodo yang punya insenerator itu.
Sebelumnya, BLHD Sulsel merilis 28 perusahaan yang beroperasi di wilayah Sulawesi Selatan masuk kategori merah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal itu berdasarkan Program Peningkatan Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2014.
Perusahaan yang masuk kategori merah, jelas Hasbi, kebanyakan adalah rumah sakit. Ada juga perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perhotelan, dan perkebunan.
Untuk penilaian proper merah, kata Andi Hasbi, menunjukkan perusahaan telah berupaya melakukan pengelolaan lingkungan. Namun baru sebagian yang mencapai hasil sebagaimana yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dia melanjutkan, perusahaan mendapat rapor merah karena rata-rata belum memiliki Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL). Hal lain yang jadi kendala adalah bagaimana perusahaan mengelola sampah B3 (Bahan Berbahaya Beracun). Termasuk pengelolaan kualitas udaranya.
Setelah mengantongi daftar perusahaan rapor merah, menurut Hasbi, mekanisme selanjutnya yang dilakukan adalah memberi waktu kepada yang bersangkutan untuk memperbaiki pengelolaan lingkungannya sesuai catatan yang diberikan oleh KLHK.
“Waktu diberikan secara rasional, berapa lama kira-kira pembenahan bisa dilakukan,” ungkap Andi Hasbi.(rhm/war)
Sumber: beritakotamakassar.com