Ketua Arsada Aceh, dr. Taufik Mahdi, SpOG membuka Workshop
“Seluruh SKPD yang memberikan pelayanan public ditantang untuk mengembangkan inovasi. Khusus untuk RSUD di Aceh, tantangannya lebih berat lagi yaitu bagaimana mencegah atau mengurangi keinginan masyarakat untuk berobat ke Penang”. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua ARSADA Aceh, dr. Taufik Mahdi, SpOG yang sekaligus merupakan Direktur RSUD Zainoel Abidin, saat membuka workshop Penyusunan Rencana Strategis Bisnis dan Laporan Keuangan di Grand Nanggroe Hotel Banda Aceh tanggal 1 Oktober yang lalu.
Lebih lanjut dr. Taufik Mahdi, SpOG menyatakan bahwa semuanya kembali lagi ke budaya masyarakat. Pasien yang berobat ke RSUD di Aceh cenderung sulit tertib; membawa anak kecil ke dan merokok di dalam lingkungan RS meskipun sudah ada larangan, tidak mematuhi jam bezuk, dan sebagainya. Keacuhan terhadap peraturan in ibahkan seringkali berujung pada keributan antara keluarga pasien dengan petugas RS. Namun jika mereka ke Penang, mereka menjadi sangat tertib dan semua aturan dipatuhi. dr. Taufik Mahdi, SpOG juga menyoroti perbedaan cara pandang pemerintah (daerah) pada sektor kesehatan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Dalam menghadapi era perdagangan bebas dan kompetisi global, seharusnya bukan RS saja yang dituntut untuk membenahi manajemennya, melainkan juga sektor lain seperti infrastruktur, keamanan, pendidikan dan sebagainya. Daerah tidak akan siap jika hanya sektor kesehatan yang dibenahi. Demikian juga dalam kaitannya dengan implementasi BLUD, seharusnya pemerintah mendorong implementasi ini bukan hanya di RSUD melainkan juga di SKPD-SKPD lain sesuai dengan yang telah diatur dalam Permendagri 61 tahun 2007.
Ketua Panitia Workshop, Drg. Eka Darma Putra, MARS memberi sambutan
Inilah salah satu alasan masih diperlukannya workshop menyusun Rencana Strategis Bisnis dan Laporan Keuangan untuk merespon Permendagri 61/2007 tersebut, setidaknya di Provinsi Aceh. Kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah, membuat belum semua RSUD di Aceh mengimplementasikan PPK BLUD. Permendagri 61/2007 telah berlaku sejak 5 tahun yang lalu dan kemudian 3 tahun yang lalu diterbitkan pula UU no 44/2009 tentang RS yang mewajibkan seluruh RS pemerintah dikelola secara BLUD. Dari regulasi ini saja seharusnya seluruh pemerintah daerah mematuhi dengan memberikan dukungan. Namun pada kenyataannya belum semua RSUD khususnya di Aceh mendapatkan dukungan yang cukup untuk menerapkan PPK BLUD. Bahkan RSUD yang telah ditetapkan sebagai BLUD pun masih diharuskan menyusun RKA dan laporan keuangan seperti SKPD biasa. RBA akhirnya hanya dibuat untuk kepentingan internal RSUD.
Peserta pelatihan yang merupakan wakil-wakil dari RSUD Meuraxa, RSIA Subulussalam, RSUD Tamiang, RSUD Kuta Cane, RSUD Datu Beru, RSUD Jantho, RS Jiwa Aceh dan RSK Rehabilitasi Medis Aceh Timur umumnya sepakat bahwa dengan menerapkan PPK BLUD akan membuat RS menjadi lebih meningkat kinerjanya. Namun ada juga yang pesimis akan dapat menerapkan PPK BLUD dengan minimnya dukungan Pemda.
Mengingat regulasi ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun, cukup melelahkan jika bangsa Indonesia masih berkutat pada masalah kurang meratanya pemahaman yang menyebabkan rendahnya dukungan implementasi BLUD. Disisi lain, peluang untuk mengimplementasikan BLUD bukan semata monopoli RSUD melainkan juga selayaknya dimanfaatkan oleh SKPD-SKPD lain demi meningkatkan layanan publik. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya jika Pemerintah Pusat mengevaluasi pelaksanaan BLUD dari sisi ketaatan Pemerintah Daerah (dan perangkat-perangkatnya) terhadap aturan main regulasi ini, dan bertanya mengapa implementasi PPK BLUD di wilayahnya belum sesuai dengan yang telah diatur.
[…] menghadiri pertemuan ini dapat mengikutinya dari jarak jauh. Selain itu, kami juga akan menyajikan liputan mengenai salah satu kegiatan workshop persiapan implementasi BLUD dari provinsi terbarat Indonesia. […]