Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/346/2025 tentang Pedoman Penghitungan Biaya Satuan Pelayanan di Rumah Sakit. Pedoman ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mendorong rumah sakit agar lebih transparan, efisien, dan akuntabel dalam mengelola biaya layanan yang mereka berikan kepada masyarakat.
Melalui dokumen ini, rumah sakit mendapat panduan yang jelas dan sistematis untuk menghitung berapa sebenarnya biaya yang dikeluarkan dalam setiap layanan kesehatan, baik layanan rawat jalan, rawat inap, tindakan medis, hingga penggunaan alat dan obat-obatan. Pedoman ini memperkenalkan beberapa metode penghitungan, seperti step-down costing, bottom-up costing, dan yang lebih modern — Time-Driven Activity-Based Costing (TDABC). Masing-masing metode bisa disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan rumah sakit, dari yang sederhana hingga yang sudah memiliki sistem informasi biaya yang canggih.
Namun lebih dari sekadar menghitung biaya satu kali, pedoman ini sebenarnya membuka peluang besar bagi rumah sakit untuk membangun sistem akuntansi biaya yang terintegrasi. Artinya, proses penghitungan biaya tidak hanya dilakukan saat dibutuhkan, tetapi menjadi bagian dari proses manajerial sehari-hari. Sistem ini akan membantu rumah sakit mengetahui penggunaan sumber daya secara rinci, menilai efisiensi tiap unit pelayanan, serta menetapkan tarif yang lebih adil dan rasional.
Meski begitu, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah penggunaan dasar alokasi biaya tidak langsung yang masih menggunakan proporsi pendapatan. Cara ini tidak selalu mencerminkan pemakaian sumber daya yang sesungguhnya dan bisa mempengaruhi akurasi hasil. Selain itu, rumah sakit perlu mulai mempertimbangkan perbedaan biaya antara pasien dengan kondisi ringan dan berat, agar perhitungan lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan klinis.
Tantangan juga mungkin dirasakan oleh rumah sakit kecil yang belum memiliki SDM atau sistem informasi biaya yang memadai. Untuk itu, pendampingan teknis dan penguatan kapasitas sangat dibutuhkan agar pedoman ini bisa dijalankan di semua level rumah sakit.
Ke depan, harapannya pedoman ini tidak hanya dijadikan referensi saat menyusun tarif atau laporan keuangan, tetapi benar-benar menjadi budaya baru dalam pengelolaan rumah sakit — budaya yang berbasis data, efisiensi, dan keterbukaan. Dengan langkah ini, kita optimis rumah sakit di Indonesia akan semakin siap menghadapi tantangan sistem kesehatan ke depan (BWP).