Oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani
Hotel JW Marriott, 15 Maret 2012. Lokakarya Menuju Praktik Terbaik di Provinsi Nusa Tenggara Timur diselenggarakan dengan maksud untuk merayakan hasil-hasil pencapaian sementara yang tampaknya cukup memberikan harapan terhadap menurunnya jumlah absolut kematian ibu dan bayi serta meningkatnya angga pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh masyarakat NTT. Pengalaman ini akan dibagikan juga kepada daerah lain khususnya yang mengalami masalah yang sama, yaitu tingginya jumlah kematian ibu dan bayi. Dengan berbagi pengalaman diharapkan daerah lain dapat mengadopsi strategi yang telah dikembangkan di NTT, baik melalui kebijakan di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Oleh karena itu, Lokakarya ini mengundang dan dihadiri oleh seluruh pihak yang terkait antara lain Direktorat Jenderal BUK, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, Gubernur Jawa Timur (diwakili oleh Asisten Bidang Pengembangan dan Administrasi Umum) dan Gubernur NTT, Bappeda Provinsi NTT, para bupati, DPRD Komisi C, dan direktur RSUD se-NTT, beberapa perwakilan dari Dinkes di Kab. Situbondo, Sambapng, Bondowoso dan Bangkalan, Direktur dan Koordinator Program Sister Hospital dari RSUD Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sardjito, RSUP Sanglah, RSUD Dr. Saiful Anwar, RSU Panti Rapih, RSUP Dr. Kariyadi, PMPK FK UGM dan AIPMNH selaku sponsor program secara keseluruhan.
Pembukaan
Pembukaan dilakukan pada malam tanggal 14 Maret 2012. Pada acara pembukaan ini sambutan dari Gubernur Jatim disampaikan oleh Asisten Bidang Pengembangan dan Administrasi Umum. Di Jawa Timur, kesehatan sebagaimana juga pendidikan merupakan hak dasar masyarakat, sehingga sektor ini menjadi prioritas pembangunan. Angka kematian ibu dan bayi di beberapa kabupaten di jatim masih cukup tinggi, antara lain di Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab. Sampan dan Kab. Bangkalan. Masih banyak penyakit menular antara lain HIV/AIDS, Difteri dan TB, serta masih banyak juga kasus kurang gizi. Berbagai masalah ini disebabkan oleh karena factor pemerataan pelayanan kesehatan yang belum optimal, fasilitas yang belum memadai serta masalah SDM.
Lebih lanjut disampaikan bahwa pembiayaan kesehatan belum menjamin penurunan angka kesakitan khususnya pada masyarakat tidak mampu. Untuk itu Jawa Timur melakukan terobosan berupa penerbitan Perda mengenai universal coverage, Pomkesdes, peningkatan pelayanan Puskesmas dan jaringannya yang dilakukan dengan visitasi oleh dokter spesialis, pengembangan puskesmas dengan rawat inap dan juga puskesmas pembantu.
Terobosan lain yang dilakukan adalah mengangkat bidan desa sebagai tenaga tidak tetap dengan memanfaatkan UU Kepegawaian, karena telah ada PP No 48 yang melarang pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer. Ini menunjukkan bahwa apapun akan ditempuh oleh Pemprov Jatim asalkan untuk kepentingan rakyat miskin.
Dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi Prov. Jatim juga berpartisipasi pada kegiatan PONED dan PONEK. Klinik VCT dikembangkan untuk menekan penyebaran HIV. Seluruh upaya ini dilakuakn dengan melibatkan juga dunia usaha, dukungan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta APBN. Namun itu saja tidak cukup. Peran serta masyarakat dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pemerintah Provinsi Jatim berharap bahwa lokakarya ini akan menjadi pembelajaran terhadap best practices di NTT bagi kabupaten-kabupaten di Jatim khususnya Kab. Situbondo, Bondowoso, Sampang dan Bangkalan.
Dirjen Bina Gizi dan KIA dalam sambutanya menyatakan bahwa revolusi KIA di NTT ini adalah satu-satunya revolusi di Indonesia yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Jika dengan cara-cara biasa terjadi 162 kematian per 1000 kelahiran hidup, maka dengan cara luar biasa ini diharapkan angka penurunan akan lebih drastis.
Salah satu penyebab tingginya angka kematian adalah disparitas tenaga kesehatan yang tidak merata. Sementara ini pemerintah sedang menyiapkan peraturannya. Sambil menunggu peraturan tersebut siap diundangkan, program Sistem Hospital mengisi kekosongan tenaga spesialis di beberapa daerah. Hasil evaluasi sementara program ini menunjukkan hasil yang cukup baik, sehingga program ini perlu ditularkan ke daerah lain, khususnya Kabupaten Bangkalan, Situbondo, Sampang dan Bondowoso yang saat ini hadir untuk proses pembelajaran.
Kemenkes tengah melakukan perombakan strategi, dimana seluruh pejabat eselon I diberi tanggung jawab melakukan pembinaan wilayah. Tugas membina wilayah NTT jatuh ke tangan Dirjen Bina Gizi dan KIA, oleh karenanya minggu depan akan dilakukan kunjungan kerja kesana.
Sebelum membuka pertemuan secara resmi, Gubernur NTT memberikan sambutan dengan menekankan bahwa meskipun program ini sudah menunjukkan hasil yang baik, namun belum dapat memenuhi harapan semua orang. Kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemitraan banyak sekali pihak, mulai dari Puskesmas hingga ke tingkat pusat ini, sudah dilakukan sejak tahun 2008 dan meliputi 14 dari 21 kabupaten/kota di NTT. Sejak tahun 2009 ada Pergub yang berjudul Revolusi KIA dan menetapkan bahwa semua ibu hamil harus melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi:
– SDM (jumlah, kompetensi dan penyebarannya),
– Peralatan untuk membantu proses persalinan,
– Perbekalan kesehatan
– Bangunan
Masalah lain adalah keterjangkauan, sehingga sektor transportasi juga perlu mendapat perhatian.
Gubernur berharap bahwa lokakarya ini akan member gagasan baru atas hasil positif yang telah dicapai dari kemitraan dengan AIPMNH. Dalam bidang perencanaan sudah ada mekanisme penguatan perencanaan tingkat kabupaten, perencanaan dan penganggaran kesehaan terpadu yang partisipatif dan responsif, penguatan desa siaga, pengembangan peran Musrenbang desa yang pro kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak, RPJM Desa yang memasukkan program KIA , penyusunan Perda tentang KIA, pemberdayaan puskesmas, pemberdayaan dan penyantunan puskesmas serta bidang pemberdayaan masyarakat.
Keberhasilan ini mash bersifat local di NTT. AIPMNH merasa proses di NTT dapat ditularkan di daerah lain sehingga lokakarya ini disebut sebagai pembelajaran praktek-praktek terbaik. Ini memerlukan dukungan dari semua pihak.
Lokakarya
Dr. Slamet Riyadi, Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa penanganan KIA saat ini tidak lagi dilakukan dari hulu (Puskesmas, bidan desa dan komunitas) melainkan dari RS (PONEK). Pendekatan baru ini yang disebut sebagai revolusi KIA. Pengalaman saat dulu mengelola RSUD Dr. Soetomo, ada 400 orang calon dokter spesialis per tahun tahun sedangkan saat ini sudah lebih dari 1000 orang. Semuanya membutukan tempat untuk praktek dan mendapatkan pengalaman. Dengan adanya kerjasama dalam kerangka sister hospital, para calon spesialis ini dapat di kirim ke RSUD di NTT. Sehingga dalam proses pendidikan pun mereka sudah memberikan manfaat bagi masyarakat. Model ini dijalankan sambil menunggu proses penyusunan kebijakan persebaran SDM spesialis di Indonesia yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah. Dr. Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan saat ini memiliki tugas untuk mendesain peraturan tersebut disamping tugas untuk mempersiapkan universal coverage.
Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan MOU antara:
– FK UGM, RSUP Dr. Sardjito dengan Pemda Kab Ngada dan RSUD Bajawa
– FK Unibraw, RSUD Dr. Saiful Anwar dengan Pemda Kab. Lembata dan RSUD Lewoleba
Talkshow
Lokakarya ini diisi dengan acara talkshow pada 2 sesi yang berbeda. Talkshow pertama menampilkan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Dr. John McComb (Former Partnership Director), Dr. Stefanus Brian Sera (Kadinkes Provinsi NTT), Ir. Wayan Darmawan (Kepala Bappeda NTT).
Kesempatan pertama diberikan kepada Prof. Laksono untuk memaparkan ide awal mengenai program ini. Pada tahun 2008-2009 UGM melakukan kontak dengan AIPMNH (Angela Taggart, Advisor) mengenai bagaimana menghadapi masalah KIA. Bertahun-tahun berbagai program sudah diterapkan namun jumlah kematian ibu dan bayi tetap tinggi. Beberapa tahun terakhir dengan diterpkannya program Jampersal justru jumlah kematian meningkat di beberapa daerah khususnya di Pulau Jawa. Untuk kedepannya, UGM hanya mau terlibat jika program yang akan dilaksanakan benar-benar menyentuh ibu dan bayi bermasalah, bukan hanya sekedar penelitian. Jadi harus ada kegiatan yang action oriented, bukan hanya survey. Pada saat itu ditemukan masalah pada distribusi tenaga spesialis; bagaimana mengurangi kematian ibu dan anak jika di daerah terpencil khususnya NTT tidak ada tenaga Spesialis Obsgyn dan Spesialis Kesehatan Anak, sedangkan di Pulau Jawa numpuk. Proses mempertimbangkan hal ini memakan waktu satu tahun.
Menurut Prof. Laksono, prinsipnya adalah bagaimana membagi tenaga yang menumpuk di Jawa didistribusikan ke NTT untuk mengurangi angka kematian. Banyak yang pesimis dengan ide ini, namun jika tidak dicoba kita tidak akan pernah tahu apakah strategi ini akan berhasil atau tidak. Tidak mungkin kematian ibu dan anak berkurang jika intervensi hanya dilakukan di Puskesmas dan Bidan Desa, sedangkan RS tidak dibenahi. UGM hanya berani menjalankan ide ini jika dibantu oleh RS-RS besar di Jawa dan Bali, antara lain oleh Dr. Slamet Riyadi (saat itu direktur RSUD Dr. Soetomo), Dr. Mulyono (RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang), Dr. Andi (Makassar), RSUP Dr. Sardjito, RSUP Sanglah, dan RSU Pantirapih Jogjakarta. Setelah semua bersedia lalu kegiatan mulai dirancang. Disadari bahwa program ini adalah action dengan risiko tinggi. Jika tenaga spesialis yang dikirim ke NTT melakukan kesalahan bisa mendapat ancaman terhadap keselamatan jiwanya, termasuk risiko perjalanan (transportasi darat, laut, udara).
Setelah program ini berjalan beberapa tahun, terlihat bahwa AKI menurun dari 250 jadi 208. DIY yang dianggap terbaik justru mengalami kenaikan angka kematian absolut dari 36 menjadi 54. Tahun 2010 angka ini naik dari 44 menjadi 56. DIY merupakan daerah dengan angka kematian absolut terendah di Indonesia, namun kenyataannya angkanya meningkat. Demikian juga dengan provinsi dan kabupaten lain di Jawa. NTB juga mengalami peningkatan. Artinya menurut Prof. Laksono adalah mungkin saja revolusi KIA berhasil. Namun ini masih harus dipastikan apakah strategi ini baik dan memang tepat atau tidak.
Setelah 3 tahun revolusi KIA angka kematian absolut di NTT menurun terus. Namun 3 tahun revolusi KIA ini masih awal. Pembangunan sistem kesehatan tidak cukup hanya 3-5 thn, mungkin membutuhkan waktu 10-20 tahun. Jadi hari ini hanya kita hanya merayakan pencapaian sementara.
Menurut Dr. John McComb (AIPMNH) yang diberikan kesempatan berikutnya untuk berbicara, program ini telah berjalan 4 tahun dan sejak awal telah di-setting sebagai program kemitraan, bukan proyek. Peran AIPMNH hanya bekerjasama dengan mitra-mitra, antara lain RS, universitas dan masyarakat. Ada 3 aspek dari program ini:
- Kematian Ibu dan anak tinggi, dalam 3-4 tahun menurun drastis. Tetapi ini tergantung pada denominator: berapa banyak jumlah persalinan dalam waktu tersebut. Jika denominator rendah, artinya angka kematian bisa tinggi. Jadi dampak program ini cukup besar.
- Desain untuk fokus pada peningkatan demand masyarakat ke fasilitas kesehatan: pelatihan untuk bidan desa dan sebagainya, termasuk pada health system. Jadi tidak hanya demand melainkan juga memuat sistem dalam mendukung pelayanan.
- Bagaimana kinerja dan akuntabilitas bisa mendukung misalnya bagamana pajak bisa membiayai program-program kesehatan.
Desain yang dibuat oleh AUSAid dan Kementerian Kesehatan ini prinsipnya harus kuat dan fleksibel. Dana cukup banyak tersedia, namun tergantung pada bottle neck di provinsi atau tempat kerja. Saat itu ada kesempatan untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang masalah ini serta membuat perencanaan. Jadi dalam hal ini desain sangat penting.
Program ini tidak dimulai dengan konteks yang kosong. Di NTT ada visi dan strategi, yaitu strategi revolusi KIA. Ini yang memudahkan proses perencanaan dan pelaksanaan program. Dalam hal ini seluruh komponen yang terlibat dan berkepentingan harus bekerja dalam konteks aktif.
Program ini adalah program kemitraan, bukan kerja sebagai proyek dan berjalan sendiri. Program ini harus sesuai dengan sistem pemerintah. Jadi AIPMNH juga banyak belajar mengenai berbagai peraturan daerah dan sektor lain di luar kesehatan. Itulah sebabnya, tahun pertama dan kedua program kemitraan ini bukan hanya dilakukan dengan Dinas Kesehatan melainkan juga dengan Biro Perempuan dan instansi pemeirntah lainnya, Universitas, LSM, RS dan lembaga lokal lainnya.
Dr. Stefanus Brian Sera menyatakan bahwa NTT selalu mendapat rapor merah dan saat ini merasa sudah cukup dengan segala predikat kurang baik: daerah miskin, terpencil, angka kematian tinggi. Sehingga NTT melakukan pemberontakan agar tidak dipandang rendah oleh provinsi lain, melalui revolusi KIA. NTT melakukan pendekatan adat istiadat, dengan menggunakan prinsip bersaudara dimana (daerah) yang besar dan kuat membantu (daerah) yang lemah dan kecil.
Ada tiga prinsip dalam melakukan revolusi KIA:
1) Beri kepercayaan pada rakyat. Semua ibu yang akan melahirkan harus ke fasilitas kesehatan yang memadai, yang dibatasi pada puskesmas dan RS. RS harus dapat bertindak seperti Mahkamah Agung: jika ada kasus RS harus bisa memutuskan dan melakukan tindakan, tidak lagi merujuk ke RS lain. Agar mampu seperti itu, maka RS harus punya Spesialis Obsgyn, Spesialis kesehatan Anak dan Spesialis Anestesi serta perawat yang mampu merawat bayi baru lahir, dan didampingi oleh teknisi untuk melakukan troubleshoot jika ada masalah teknis.
2) Pada saat yang bersamaan pemerintah harus mencari pintu agar putra-putra NTT bisa menempuh pendidikan dokter dan dokter spesialis, agar bisa kembali ke NTT dan membangun sektor kesehatan di NTT. Handicap yang selama ini dimiliki adalah kurangnya daya saing lulusan SMA NTT. Dari 70-80 orang yang mendaftar di fakultas kedokteran, kurang dari 10 orang yang diterima.
3) RS dikelola bersama-sama dengan baik sehingga akan mendatangkan manfaat langsung pada masyarakat. Pengelolaan RS ini dilakukan bersama antara RS-RS mitra yang ada di Jawa dan Bali, serta didukung oleh seluruh pihak yang terkait.
Lebih jauh Dr. Stefanus menekankan bahwa bantuan harus diberikan kepada NTT dapat berakhir apabila kondisi di NTT sama dengan RS yang membantu.
Ada 4 progam utama yang dilakukan dalam rangka revolusi KIA ini, yaitu:
1) Sister hospital
2) PML (Performance Management and Leadership), yaitu melatih orang-orang yang berada di posisi sebagai manajer dan pemimpin, serta mencari calon pemimpin bidang kesehatan
3) Sistem rujukan
4) Sikda (sistem kesehatan daerah), dimana seorang pemimpin harus modern dan bersifat seperti ilmuwan. Dalam hal ini pengambilan keputusan harus dilakukan berdasarkan data, sehingga perlu didukung sistem informasi yang baik.
Kesempatan terakhir pada Talkshow ini diberikan kepada Ir. Wayan Darmawan, MT (Kepala Bappeda Provinsi NTT) untuk menyampaikan pendapatnya.
Menurut Ir. Wayan Darmawan, rencana yang baik dan sudah didukung secara politis harus ditindaklanjuti dengan rencana teknokratik dan partisipatif. Jadi melalui kemitraan AIPMNH ini ada 4 strategi besar yang dilakukan:
- Membangun cara baru yang lebih elegan dengan mengedepankan aspek sinergitas. Penurunan AKI dan AKB hanya dapat dilakukan jika ada kerjasama dengan sektor lain dan pembangunan di sektor lain.
- Perencanaan berkualitas hanya bisa dilakukan melalui data yang berkualitas. Jadi harus membangun basis data yang kuat.
- Pendekatan pembangunan di NTT adalah pendekatan berbasis desa dan kelurahan. Ini akan mengarahkan program yang berdasar pada masalah yang ada di desa dan kelurahan. Tidak insidental seperti program-program yang berbasis pada lokus program, dan akibatnya tidak ada kontinuitas.
- Diharapkan ada peningkatan partisipasi, upaya peningkatan pemahaman masyarakat dan elemen pembangunan yang lain.
Diharapkan adanya komitmen pemerintah pusat dalam progam ini. Dalam RPJMN, perencanaan alokasi anggaran pembangunan untuk NTT rendah sekali, sehingga tidak mungkin mampu mengurangi gap dengan provinsi lain. Dan kemudian ada kebijakan percepatan pembangunan sehingga proporsi anggaran pembangunan meningkat.
Diskusi
Pada sesi diskusi beberapa peserta diberi kesempatan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Kesempatan pertama diberikan kepada Ibu Budi Rahayu dari Dinas kesehatan Prov. Jatim. Budi Rahayu menanyakan pendapat narasumber bahwa ada reformasi alokasi pembangunan, dimana 50% dialihkan dari program yang tadinya tidak menyentuh ke program lain yang lebih menyentuh langsung kepentingan masyarakat NTT. Apakah ini dialihkan dari semua sumber dana, atau hanya yang dikendalikan oleh provinsi saja? Bagaimana dengan legislatif, dan bagaimana sektor lain apakah “iklas” dengan pengalihan itu?
Oleh Wayan Darmawan pertanyaan ini ditanggapi bahwa pada APBD provinsi telah dilakukan analisis pembiayaan. Fakta menunjukkan terlalu banyak program yang justru menyulitkan pimpinan SKPD. Dengan program yang kecil-kecil, tidak terintegrasi dan tersebar, menyebabkan terlalu banyak (laporan) pertanggungjawaban yang harus dibuat.
Hampir Rp 200 Milyar dapat dihemat dari pengurangan rapat dan perjalanan dinas, dan dana ini dialihkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Rp 250 juta untuk ekonomi produktif dan Rp 50 juta untuk pembangunan perumahan. Kabupaten/kota juga melakukan hal yang sama, karena ini dibangun melalui komitmen untuk pembangunan yang sama.
Program yang tidak membawa daya ungkit akan ditolak. Berdasarkan Peraturan Gubernur No 4/2004 dibentuk suatu sekretariat yang akan memverifikasi program-program yang diusulkan SKPD. Kegiatan/program yang tidak produktif dihilangkan. RPJMD sebagai acuan dan aspek teknokratis dikedepankan. Dalam hal ini, diskusi dari aspek teknokratis dilakukan dulu sebelum dibahas di aspek politik. Karena pengalokasian berdasarkan analisis maalah (data), sektor besar yang mendapat alokasi dana adalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata). Infrastruktur juga dapat alokasi besar namun dari apsek prioritas lebih rendah dari ekonomi, hal ini karena infrastruktur merupakan urat nadi ekonomi.
APBD Provinsi NTT adalah sebesar Rp 1,3 trilyun yang harus dimanfaatkan untuk melayani 21 kabupaten/kota se-NTT yang berpulau-pulau. Dengan dana terbatas ini, diperlukan terobosan dalam pengalokasian dan pengelolaannya.
Kesempatan kedua dimanfaatkan oleh dr. Adolf Kabut, Wakil Ketua DPRD Manggarai untuk menyampaikan keluhannya. Adolf setuju dengan strategi bahwa perlu kerjasama dengan RS-RS besar di Indonesia untuk membantu menangani masalah kesehatan di NTT. Hal ini memerlukan kerjasama lintas sektor sehingga seharusnya Bappenas juga diundang dalam pertemuan seperti ini agar dapat mendengarkan langsung masalah-masalah di NTT yang memerlukan perhatian dari Bappenas.
Masalah kedua adalah secara geografis NTT merupakan daerah berbukit dan berpulau sehingga mobilisasi penduduk dari satu desa atau wilayah ke tempat lain lebih sulit. Hal ini diperparah dengan stigma NTT sebagai daerah tertinggal. Ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat menganaktirikan Provinsi NTT. Di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, manggarai Timur dan dan Kabupaten Manggarai hanya ada 1 RS untuk melayani ketiga wilayah ini. Akses transportasi hanya dapat dilakukan melalui jalan darat dengan waktu tempuh sampai dengan 8 jam. Oleh karena itu jika ada usulan untuk membangun RS di daerah hendaknya diberi perhatian.
Pernyataan tersebut di atas medapat tanggapan dari seluruh narasumber. Tanggapan pertama datang dari Dr. Stefanus sebagai berikut:
- Bappenas, BKKBN, dan lain-lain telah diundang dalam pertemuan ini namun tidak hadir.
- Memang benar bahwa di Manggarai Barat dan Timur belum ada RS. Namun di Kab. Manggarai Barat pembangunan RS sudah masuk dalam agenda pembangunan. Ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan dalam merencanakan RS: gedung, peralatan, dan yang paling penting dan sulit adalah SDM. Dalam perencanaan RS, harus dipikirkan berapa orang yang sudah disekolahkan untuk nantinya bekerja di RS tersebut. Kalau mau jujur, semua RS di NTT tidak memenuhi syarat untuk melayani masyarkat.
RS adalah tempat bekerjanya para ahli. Masa pendidikan dokter spesialis total 14 tahun. Dr. Stefanus menanyakan, berapa orang yang telah dikirim oleh daerah untuk menempuh pendidikan dokter maupun dokter spesialis? Jawabnya: tidak ada.
Pasien di RS adalah pasien yang membutuhkan penegakkan diagnosa dan tindakan medis. Bukan sekedar diare dan malaria yang sudah jelas diagnosis dan tindakannya, seperti kasus di puskesmas. Handicap yang ada sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya antara lain: kurangnya jumlah candidate, sulitnya masuk universitas, dan bagaimana membuat kebijakan agar dokter spesialis yang sudah ada di NTT betah bekerja disana dan tidak kembali ke Pulau Jawa atau Bali. Semangat membangun bagus, namun semangat untuk menata yang sangat dibutuhkan.
Tanggapan berikutnya dating dari Prof. Laksono yang menyatakan bahwa di Indonesia sedang terjadi ketidakadilan yang jika dibiarkan akan semakin memburuk. Contohnya adalah kebijakan Jampersal, yang datanya berasal dari pusat. Agar bisa diklaim ke Jampersal, maka pelayanan diberikan oleh tenaga dokter dan fasilitas di RS sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Yang terjadi saat ini fasilitas RS dan dokter spesialis tidak seimbang antara Jawa dan luar Jawa. Akibatnya dana-dana Jampersal terserap kembali ke Jawa. UGM sangat peduli dengan keadilan, sehingga merasa ini perlu diseimbangkan. Ini yang dikerjakan oleh sister hospital, yaitu menyeimbangkan persebaran tenaga spesialis. Dokter spesialis yang sudah di NTT harus dibuat agar kerasan di daerah. Perlu dilakukan lobby yang lebih intensif ke Bappenas dan instansi terkait lainnya agar alokasi anggaran pembangunan ke NTT lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain yang sudah kaya. Sebagai contoh di Kalimantan Timur ada satu kabupaten dengan PAD Rp 2,4 trilyun, sedangkan NTT, PAD Provinsi hanya Rp 1,4 trilyun.
Tanggapan selanjutnya diberikan oleh Dr. John McComb yang menegaskan kembali bahwa Bappenas sudah diundang via Bappeda, demikian juga dengan DPR.
Menurut Wayan Darmawan selanjutnya adalah sesuai dengan prioritas pembangunan nasional 2011-2014, ada dua syarat untuk mendapatkan alokasi pembangunan infrastruktur: 1) daerah yang bersangkutan termasuk dalam daftar provinsi prioritas, dan 2) jika membutuhkan lahan daerah harus membebaskan, dan desain yang dikembangkan harus didukung oleh APBD II.
Pameran Poster
Selain diskusi dalam bentuk talkshow, juga ada pameran poster. Setiap program dibawah koordinasi AIPMNH membuat poster yang kemudian dipamerkan di lobby menuju ruang lokakarya. Khusus untuk kegiatan sister hospitak dan PML, UGM diberi kesempatan menjelaskan mekanismenya. Desain awal dibuat oleh UGM (dalam hal ini PMPK), namun selanjutnya ada para pelaku utama yaitu RS-RS besar di Jakarta, Jawa dan Bali yang kemudian disebut sebagai RS Mitra A. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengirim dokter spesialis (atau calon dokter spesialis) sementara untuk bertugas di NTT dan mengirim dokter umum dari NTT untuk dididik menjadi dokter spesialis di Jawa dan Bali. Dokter-dokter yang ditugaskan sementara di NTT bertugas selain memberikan pelayanan juga membangun sistem rujukan. Dengan ini upaya melibatkan rumah sakit dalam membangun sistem rujukan (PONED-PONEK) diharakan akan menjadi lebih efektif.
Lesson Learnt
Pelajaran yang dapat diperoleh dari program-program di NTT antara lain:
- Revolusi KIA sudah berada di jalur yang benar. Kebijakan lebih jelas dan kontinyu, sistem kontrak tenaga dokter spesialis dapat berjalan.
- Ini adalah proyek pertama di Indonesia yang mengintervensi dari hulu sampai hilir, dari bidan sampai kamar operasi di RS.
- Dalam sistem rujukan masih ada masalah, namun terjadi penurunan jumlah kematian dan jumlah persalinan di non fasilitas kesehatan. Pola kematian berubah, lebih banyak terjadi di fasilitas kesehatan dibandingkan non fasilitas kesehatan.
- Artinya, masih ada sesuatu yang menyumbat di pola rujukan, karena kematian masih banyak terjadi di puskesmas.
Contoh kasus dari Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)
Kebijakan dan strategi:
- Instruksi-instruksi Bupati TTS tentang ASI ekslusif dll, dan kebijakan lain yang mengatur di RS, Puskesmas, Dinkes dll.
- Kebijakan dinkes tentang Puskesmas PONED
- Kemitraan dengan AIPMNH
- Peningkatan alokasi anggaran kesehatan
- Peningkatan peran serta masyarakat
- Rancanangan peraturan tentang KIA.
Dari berbagai kebijakan ini ada perubahan yang terjadi di TTS. Ada peraturan desa jika tidak ke fasilitas kesehatan akan dikenakan denda dan uangnya masuk kas desa. Juga ada kegiatan menabung untuk keperluan ibu melahirkan dan bayi/anak. Selain itu juga ada keputusan desa bahwa wajib menggunakan fasilitas kesehatan. Ada himbauan-himbauan yang dilaksanakan tidak saja lewat Dinas Kesehatan namun juga melalui tokoh adat dan tokoh agama.