Seminar Harapan Direktur terhadap Perilaku Dokter Spesialis dan Dokter di RS Puri Indah dalam Konteks Sistem Kontrak Kerja
Pengantar ———-Seminar ini diselenggarakan untuk memaparkan pengalaman RS Puri Indah dalam mengelola tenaga medis (dokter dan dokter spesialis) agar menjadi bahan pembelajaran bagi manajer RS lainnya serta mahasiswa S2 Manajemen RS yang berminat dengan topik ini. Seminar ini menghadirkan pembicara tunggal dr. Mus Aida, MARS sebagai direktur RS Puri Indah dengan moderator Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari PMPK FK UGM/MMR FK UGM.
———-Pada bagian awal dr. Mus Aida menjelaskan mengenai pentingnya hospital bylaws. Ada Permenkes RI No. 755/Menkes/PER/IV/2011 mengenai Medical Staff Bylaws yang didalamnya mengatur mengenai hal ini, yaitu pada Bab III mengenai Peraturan internal staff medis, dan pasal 15. Disebutkan bahwa komite medik dibentuk oleh direktur RS. Komite Medik memang memegang kewenangan tertinggi dalam hal keputusan medik, namun dalam keadaan darurat direktur RS dapat memberikan surat penugasan klinis tanpa rekomendasi komite medik. ———Dokter harus diperlakukan sebagai sebagai mitra dengan status mitra kontrak. Masa kontrak awal adalah untuk periode satu tahun, dan selanjutnya dapat dikontrak per 3 tahun. Transparansi menjadi hal yang sangat penting di RS. Melakukan transparansi pada keluarga pasien ada seninya, untuk melindungi RS dan dokter apabila terjadi komplain dari keluarga pasien sehingga bisa meminimalisir kerugian. ———Direktur RS tidak boleh takut untuk memberikan keputusan apabila ada dokter senior yang melakukan kesalahan di RS.Yang penting direktur RS didukung oleh evidence(evidence based decision) yang banyak dan kuat untuk berargumentasi terhadap dokter. Apabila ada dokter yang sudah mengganggu proses pelayanan kesehatan kepada pasien maka cari bukti-bukti kesalahannya. Direktur harus tegas dan langsung memecat dokter yang bersangkutan. ———Masalah tarif dapat dibicarakan apabila ada dokter yang memang mutunya bagus memberikan pelayanan kepada pasien.Tetapi apabila telah mengganggu mutu pelayanan RS maka seharusnya tidak ada kompromi lagi. ———Kasus/masalah dengan keluarga pasien harus segera ditangani, bahkan diupayakan selesai saat pasien masih dirawat di RS. Apabila telah keluar RS maka akan sulit urusannya karena adanya pengaruh dari lawyer, keluarga yang lain dan lain-lainnya. ———Setiap bulan ada pantauan mengenai jumlah pasien yang ditangani oleh setiap dokter sehingga mengetahui tahu grafiknya menurun atau tidak. Apabila naik maka dokter akan diberikan insentif lebih tetapi apabila menurun maka dokter tersebut diajak berdiskusi mengenai masalah yang menyebabkan kinerjanya menurun. ———-Biaya yang dikeluarkan oleh RS untuk menangani komplain pasien harus dipantau dan diinformasikan pada dokternya.Dengan demikian, dokter yang bersangkutan tahu berapa kerugian RS yang telah ditimbulkan akibat penanganan yang buruk pada pasien. Apabila keadaan ini terus berlangsung maka dokter tersebut harus di ganti. ———Harapan direktur adalah terdapatnya good governances di RS yang diwujudkan dalam bentuk: 1. Dokter memperhatikan visi, misi, nilai-nilai dan moto RS dalam bekerja Diskusi: ———-Pada sesi diskusi peserta seminar diberikan kesempatan untuk bertanya atau berkomentar dan narasumber juga diberi kesempatan untuk menjawab atau memberikan tanggapan. Berikut ini adalah catatan dari diskusi tersebut. 1. Apakah memang harus tarik ulur untuk kontrak seorang dokter apabila daya tarik pasiennya masih rendah? RS harus berupaya mencari dokter yang punya nama sehingga dapat jadi magnet bagi pasien. Pada saat ini RS kemudian pelan.pelan membenahi sistemnya, namun jangan terlalu ketat dalam menerapkan peraturan. Bagaimana mendorong agar RS menjadi baik?Jangan membuat pasien datang karena dokternya, namun bualah pasien datang karena memang RS-nya bagus. Buatlah institusimu itu bagus dan diketahui oleh pasien sehingga pasien mengetahui hal tersebut. Tunjukkan pada pasien bahwa apabila datang ke RS itu ada jaminan terhadap rasa aman dan nyaman, bersih(cuci tangan dokter/pasien safety).Contoh: dokter dan perawat harus mendemontrasikan dan mengkomunikasikan kepada pasien saat mencuci tangan. Hal ini untuk memberi keyakinan pada pasien bahwa tindakan tersebut (mencuci tangan) penting untuk menjaga keselamatan pasien. Pasien akan kembali dengan sendirinya apabila membutuhkan layanan kesehatan di RS. Pasien juga akan memberitahukan kepada masyarakat bahwa RS kita profesional dan akan menaikkan daya tarik RS kita. Jika ada dokter yang nakal maka sebaiknya dokter yang bersangkutan “dielus-elus” dulu baru kemudian “digerus” pelan-pelan. Apabila institusi sudah bagus maka dokter yang akan cari intitusi kita(RS).
2. Apakah apabila untuk kasus-kasus sulit rs boleh menolak pasien ataupun rujukan pasien dari RS lain? RS mempunyai hak menolak apabila tidak mempunyai fasilitas perawatan dan dokter yang cukup memadai. RS wajib merujuk apabila tidak mampu melakukan pelayanan,namun RS tidak boleh menolak apabila terjadi keadaan darurat.
3. a. Apakah perlu ada pembianaan rohani? RSPI memiliki kegiatan rohani dan itu memang sangat penting ada di dalam RS. Jika seseorang beriman, maka dia akan takut pada Tuhan sehingga akan melakukan tindakan secara hati-hati. Sangat merugi apabila tidak ada kegiatan rohani di suatu RS.Pada setiap pegawai RS harus menekankan bahwa bekerja di RS adalah amanah dan takutlah pada Tuhan.
3. b. Bagaimanakah menurut ibu sebagai praktisi kesehatan apakah kurikulum yang harus ditambahkan di dalam pembelajaran kedokteran? Komunikasi dan etika sebaiknya lebih spesifik dan lebih aplikatif di dunia RS, misalnya lebih banyak porsi kasus-kasus, sedangkan teori sedikit saja.
3.c. Bagaimana mendapatkan dokter tetapi tidak full time? Untuk memenuhi hak pasien kita harus menyuguhkan dokter yang terbaik. Tarif bisa dikompromikan, namun mutu pelayanan tidak bisa. Pasar yang akan menentukan tarif kualitas seorang dokter.
4. a. bagaimana dengan biaya untuk pelatihan dokter, apakah dibiayai RS ataukah biaya sendiri? RS membiayai pelatihan untuk dokter full time saja.
4. b. Apakah dalam kepemimpinan harus butuh manajemen yang baik? Ada tiga hal yang penting dalam menjadi seorang pemimpin, yaitu manajemen, spiritual danemosional.Ketiga komponen tersebut harus baik, sehingga pemimpin tersebut mempunyai empati kepada pasien, keluarga pasien dan seluruh karyawan dan staf yang bekerja di RS.
Kesimpulan: ———-Sebuah RS yang tangguh dan bisa bertahan didalam persaingan yang ketat sekarang ini adalah RS yang yang baik.Pasien datang ke RS bukan karena dokternya tetapi karena RS-nya memang baik. Seorang direktur RS harus tegas kepada semua dokter tanpa terkecuali.Tidak memandang itu dokter junior ataupun senior. Seorang pemimpin harus memiliki tiga hal penting yaitu memiliki manajemen, spiritual dan emosional yang baik. |
———————————————– ———————————————– > Penyusunan Rencana Strategis untuk RS > Pelatihan Sistem Akuntansi Rumah Sakit berbasis SAK > Aplikasi Sistem Billing dan Rekam Medis Berbasis Open System
|
||||
Laporan Kegiatan Sebelumnya: ——————– Transferworkshop Beijing-Bericht ————————————————————– Liputan Seminar Tahunan VI Pateint Safety Kongres XII PERSI |
|||||
Aktivitas Mutu Klinis —– Aktivitas Mutu Keperawatan —- Manajemen SDM —– Manajemen Keuangan —- Manajemen Fisik —– Hukum Kesehatan
Manajemen Teknologi Informasi —– Asuransi Kesehatan —– Manajemen Pemasaran —– Strategi, Struktur & Budaya Organisasi |
Healthcare World Asia: How “patient-Centered” are you?
Liputan
Healthcare World Asia Conference
HOW “PATIENT-CENTERED” ARE YOU?
Opening Remarks oleh Heather Grants, High Commissions of Canada to Singapore
Singapura, 28 Nov. Agenda pagi hari digunakan sebagai CEO Forum yang membahas mengenai pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien dan bagaimana prospek investasi pelayanan kesehatan di Asia. Pelayanan kesehatan bukan suatu negara dan tidak mengenal batas geografis. “pelayanan kesehatan merupakan international society, beyond national border”, kata Heather Grant – High Commisioner Canada – saat membuka pertemuan. Saat ini seluruh dunia menghadapi isu aging population yang artinya masyarakat hidup lebih lama sehingga membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih panjang dalam masa hidupnya. Jika di Kanada jumlah penduduk lansia diperkirakan meningkat 50%, maka di Asia jumlahnya diperkirakan naik 3x lipat dalam beberapa tahun kedepan. Untuk mengantisipasi hal ini, Kanada mendesain pelayanan kesehatannya agar berorientasi pada output. Salah satu aspek yang mendapat perhatian adalah research untuk menghasilkan solusi terbaik bagi masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat Kanada. “Medical school di Kanada ada diperingkat 7 terbaik dunia. Kanada juga memiliki teknologi arsitektur rumah sakit yang maju serta perusahaan konsultan yang sudah mendunia”, tambahnya.
Disisi lain, aging population ini meningkatkan demand masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, khususnya di RS. Selain itu, pengaruhnya juga mendorong munculnya sistem pay for performance bagi tenaga kesehatan, kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas nakes, dan berbagai upaya untuk mendesain berbagai prosedur agar sesuai dengan kebutuhan pasien. Loke Wai Chiong – Direktur Global Healthcare Practice KPMG Singapore – mengatakan bahwa ada empat jenis respon yang dilakukan oleh para provider pelayanan kesehatan dalam mengahdapi berbagai perubahan tersebut, yang disebut juga sebagai empat strategi. Pertama, melanjutkan pertumbuhan yang telah terjadi. Kedua, memperbaiki proses bisnis. Ketiga, RS harus bisa menjadi “shopping mall” dalam arti seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dapat dipenuhi di satu “mall”. Dan yang keempat adalah meningkatkan partisipasi pasien dalam berbagai fase dan menjadikan mereka sebagai “partner”, bukan sekedar “pelanggan”.
Panel sesi 1 dan 2 yang disetting seperti acara dialog di televisi
Seluruh pembicara sepakat bahwa rumah sakit harus lebih fokus pada kebutuhan pasiendengan menerapkan strategi patient centered. Namun ada kritik bahwa yang dilakukan oleh kebanyakan RS selama ini bukan patient centered, meskipun mereka menyebutnya demikian. Pelayanan yang fokus pada pasien seharusnya memperhatikan kebutuhan pasien dan memberikan layanan secara holistik sejak ia lahir sampai meninggal dunia.
Berdasarkan pengalaman Australia yang disampaikan oleh Steve Atkins (CEO Healthe Care Australia), salah satu upaya RS dalam rangka menghasilkan layanan yang berfokus pada pasien adalah membentuk lingkungan agar sesuai dengan tujuan tersebut. Kini banyak RS yang cenderung focus pada layanan tertentu, misalnya RS khusus kesehatan jiwa (mental health), RS khusus beda (surgery hospital) dan sebagainya. Strategi ini lebih memungkinkan terjadinya interaksi face-to-face antara dokter dengan pasien. Tenaga non medis juga perlu di-create agar sesuai dengan lingkungan RS yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan berfokus pada kebutuhan pasien.
Di Indonesia, kesulitan untuk mengimplementasikan patient centered care terjadi karena sulitnya membangun komunikasi antar-tenaga kesehatan maupun antara tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarganya. Hal ini disampaikan oleh Pitoyo Yap (President of Thomson Medical Center, Indonesia). Menurutnya, hal ini terjadi karena rasio antara dokter dengan jumlah penduduk yang harus dilayani sangat kecil, sehingga dokter menjadi sangat sibuk dan tidak sempat berinteraksi cukup lama dengan pasien maupun koleganya. “Tantangan lain adalah jika harus membangun tim yang multi-disiplin, misalnya pada kasus acute care, hal ini masih sulit untuk dilakukan”, tambahnya.
Raymond Chong (CEO dan Managing Director Samitivej Hospital, Thailand) memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya RS harus melakukan quantum leap, karena transformasi tidak akan bisa terjadi begitu saja saat kita masih menempuh cara-cara yang ordinary. Tantangannya adalah bagaimana membuat dokter juga ikut berubah. “Pasien sudah mendaftar dari rumah melalui internet, membayar melalui ATM, mengapa dokter masih saja mencatat di kertas?” katanya.
Raymond membagi tipsnya bahwa untuk meningkatkan keterlibatan dokter dalam proses transformasi RS menjadi lebih berfokus pada pasien. Menurutnya, motivasi finansial tidak selalu tepat untuk dokter. Yang paling besar pengaruhnya adalah motivasi yang menyangkut masalah self esteem dan kepuasannya terhadap lingkungan kerja. Ia mencontohkan, dengan adanya daftar dokter dan jam hadir yang ditempel di dinding, semua orang bisa menilai dokter mana yang rajin dan produktif mana yang tidak. Tanpa daftar terbuka seperti ini, hanya dokter yang bersangkutan yang mengetahui bahwa dia disiplin atau tidak.
Salah satu catatan penting yang didapat adalah bahwa Indonesia diposisikan sebagai negara dengan pertumbuhan pasar pelayanan kesehatan yang sangat penting. Ini menunjukkan bahwa bagi pihak asing, investasi dalam bidang pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki prospek yang cerah. Situasi ini dapat dipandang sebagai suatu peluang, dimana RS-RS di Indonesia dapat menggali dana pengembangan dari PMA. Namun disisi lain bisa juga menjadi ancaman jika tidak berhati-hati, dimana peluang pengembangan yang dimiliki dapat direbut oleh pihak asing.
Para Panelis di Sesi 2
Return on investment merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan saat sebuah organisasi pelayanan kesehatan akan memutuskan untuk berinvestasi. Hal ini disampaikan oleh Adam Sun, CFO Concord Medical Services Holdings, China. Ia menambahkan bahwa meskipun ada factor lain seperti orang-orang yang bertanggung jawab untuk membangun proses bisnis, KPI dan berbagai instrumen lainnya, namun ROI akan menjadi penentu akhir dari suatu keputusan investasi. Selain itu ada kebiasaan-kebiasaan para shareholders yang ahrus diperhatikan sebagaimana juga kebiasaan-kebiasaan organisasi itu sendiri. (pea)
Healthcare World Asia Conference I, Singapore
Healthcare World Asia, perhelatan tahunan untuk para manajer dan investor di bisnis perumahsakitan di Asia, tahun ini digelar di Singapore tanggal 26-29 November 2012. Pertemuan yang bertempat di Marina Bay Expo & Convention Center ini diikuti oleh ribuan peserta dan ratusan tenant peserta pameran dari seluruh Asia. Bahkan ada juga yang berasal dari Eropa dan Amerika.
Pertemuan selama empat hari ini dibagi menjadi pre-conference, conference dan post-conference. Conferencenya sendiri dibagi menjadi tiga kelompok tema yaitu private health care, smart healthcare dan hospital supply chain. Menarik untuk diikuti bahwa pertemuan ini dirancang untuk memungkinkan setiap orang yang datang mendapatkan apa yang dibutuhkan. Panitia memfasilitasi pertemuan konsultasi dengan person atau lembaga yang diinginkan, dengan memberikan form untuk meng-arrange peremuan tersebut sehingga bisa berjalan lebih efisien. Seluruh peserta juga diberi kesempatan untuk saling berinteraksi dan menjalin networking. Sejak awal seluruh peserta sudah diingatkan untuk membawa business card sebanyak mungkin untuk menjalin networking!
Singapore sendiri menjadi tempat yang menarik untuk menyelenggarakan pertemuan seperti ini karena identik dengan negara berteknologi maju, efisien dan lokasi strategis untuk dijangkau oleh peserta dari berbagai negara khususnya di Asia. Marina Bay sebagai salah satu jantung bisnis Singapore menawarkan kemewahan convention center sekaligus view yang sangat menarik ke arah Esplanade – Gedung Theatre yang berbentuk Nanas itu – dan patung Merlion berlatar belakang hotel tua yang mewah, Fullerton.
Semuanya ini mendukung Singapura sebagai surge belanja bagi banyak orang Asia. Bisnis hospitality yang menjanjikan di Singapura ini dimanfaatkan pula untuk mengembangkan medical tourism, apalagi standar pelayanan rumah sakit di Singapura sudah diakui secara internasional. Tak heran jika negara ini menjadi salah satu tujuan wisata medis dunia.
RS bagi Penyandang Disabilitas:Fisik & Akses Terbatas
PENGANTAR
Orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik seringkali mendapatkan perlakuan kurang adil dari berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai warga masyarakat, orang-orang dengan disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan orang lain untuk memanfaatkan sarana kesehatan. Namun dengan keterbatasan fisik yang dimiliki, orang-orang penyandang disabilitas tentunya memerlukan peralatan atau fasilitas yang didesain khusus agar mereka dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa merepotkan atau selalu tergantung atas bantuan orang lain.
Beberapa kota di negara maju sudah memiliki standar fasilitas umum yang harus didesain juga untuk orang dengan disabilitas. Standar ini diterapkan pada seluruh fasilitas umum, mulai dari sarana transportasi hingga eksterior dan interior gedung. Di Kota Sydney dan Melbourne Australia misalnya, setiap lampu lalu lintas dilengkapi dengan bunyi “beep..beep” yang kecepatannya disesuaikan dengan warna lampu yang sedang menyala. Ini untuk memudahkan penyandang tuna netra menemukan perempatan tempat menyeberang jalan dan mengetahui kapan lampu hijau menyala sehingga dapat menyeberang dengan aman tanpa bantuan orang lain.
Ruang publik di kota-kota di Eropa juga banyak yang dilengkapi dengan fasilitas untuk para penyandang tuna rungu, tuna daksa dan tuna netra. Berbagai fasum ini dilengkapi pula dengan symbol-simbol khusus yang menginformasikan bahwa fasum yang bersangkutan ramah terhadap orang dengan disabilitas. Ini menunjukkan bahwa negara dan masyarakatnya menghargai hak orang dengan disabilitas sama dengan orang tanpa disabilitas.
Di Indonesia, pemerintah telah memiliki aturan baku mengenai fasilitas umum yang harus didesain untuk menjamin orang dengan disabilitas memiliki akses terhadap fasum yang serupa dengan orang tanpa disabilitas. Contohnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 468 tahun 1998 mengenai Aksesibilitas Bangunan Gedung. Namun khususnya di banyak sekali RS, peraturan ini tidak sepenuhnya ditaati. Padahal pasal 9 peratuan ini jelas-jelas menyebutkan sanksi bagi setiap pelanggaran, mulai dari sanksi administratif hingga pencabutan izin yang telah dikeluarkan untuk pembangunan dan pemanfaatan bangunan umum dan lingkungan.
- Peraturan Menteri PU No. 468 Tahun 1998
- Jalur Pemandu
- Fasilitas Parkir
- Pintu
- Ramp
- Tangga dan Lift
- Toilet
- Fasilitas Penunjang Lain
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS OPEN SOURCE
Jogjakarta, 1 November 2012
Pukul 09.00 – 12.30
Audio-streaming:
www.manajemenrumahsakit.net
Pengantar
Kebutuhan akan sistem informasi yang baik saat ini sebenarnya merupakan kebutuhan pokok bagi rumah sakit. Apalagi dalam waktu dekat Indonesia akan menerapkan sistem pembiayaan kesehatan universal coverage, dimana semua RS harus dapat melayani pasien jaminan sosial dan mengintegrasikan datanya untuk berbagai kebutuhan pelaporan keuangan, perencanaan dan pengambilan keputusan.
Namun dalam kurun waktu 20 tahun perkembangan keilmuan manajemen RS di Indonesia, perkembangan sistem informasi belum sejalan dengan perkembangan teknologi informasi di sektor umum maupun perkembangan kebutuhan RS itu sendiri. Hal ini cenderung disebabkan karena terjadinya kegagalan mekanisme pasar dalam pengembangan sistem informasi berbasis IT ini. Software cenderung closed-system dan closed-source, yang cenderung mahal dan sulit dikembangkan mandiri, serta datp menjadi masalah dalam pelelangan. Ada beberapa isu dalam pengantar ini:
Isu 1: Mengapa terjadi kegagalan pengembangan software untuk manajemen rumahsakit?
Pertama: Dalam mekanisme pasar murni, pembiayaan software dan sistem manajemen keuangan oleh swasta merupakan hal dominan sejak dari penelitian awal sampai ke aplikasinya. Apabila swasta mengembangkan segalanya maka akan cenderung untuk close-system. Dampak akhir adalah harga software dan sistem pemasangan dan pelatihan yang tinggi, dan tidak terjangkau oleh rumahsakit biasa. Dengan demikian ada kegagalan mekanisme pasar dalam SIM RS. Akibatnya RS Yayasan dan Pemerintah yang melayani masyarakat miskin tidak mempunyai dukungan SIM RS yang baik. Dalam hal ini ada ketidak adilan di sini. Berbagai software untuk RS yang pasiennya banyak orang miskin, jarang diproduksi. Mengapa? RS miskin tidak mampu membiayai pengembangan SIM RS, dan tidak ada perusahaan IT dan konsultan SIM RS yang mau bekerja tanpa bayaran cukup.
Kedua: Pemerintah belum memberi perhatian cukup dalam pengembangan software open source ini. Pemerintah belum melakukan intervensi untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar dengan car mengatur pendanaan, sehingga dana dari pajak dapat dipakai untuk mendanai Research and Development software, pelatihan bagi tenaga IT, sampai ke penyediaan hardware bagi RS yang tidak mampu. Dalam hal ini SIM RS belum dianggap sebagai “public-good” yang perlu didanai oleh pemerintah, atau bekerja sama dengan swasta dalam bentuk public-private-partnership.
Ketiga: Pengelola RS, sering mengambil jalan pintas yang mudah dengan mengkontrakkan IT ke pihak ketiga yang menggunakan closed-system dan tidak ada transfer teknologi. Sumber Daya Manajemen IT RS menjadi tidak berkembang. Akibatnya terjadi ketergantungan ke pihak kontraktor IT yang menghambat pengembangan untuk keperluan manajemen, penelitian, dan pendidikan.
Isu 2: Apa yang dapat dilakukan di masa depan?
Pendanaan pemerintah.
Dalam kebijakan ini maka pemerintah dapat mendanai pengembangan open system software yang dapat dipergunakan oleh seluruh rumahsakit pemerintah dan swasta. Dari sisi hardware, pemerintah dapat memberikan keringanan pajak untuk hardware yang dibeli oleh rumahsakit untuk masyarakat miskin, atau mensubsidi pembelian hardware.
Perlu dorongan agar IT RS berbentuk open-system
Belum banyak pengembang IT RS yang tertarik untuk bergerak ke pengembangan open system software ini karena umumnya masih fokus pada pengembangan sistem yang close. Padahal jika sistem yang berbasis open system ini dikembangkan, maka akan mempercepat pertumbuhan jumlah RS yang mengaplikasikan sistem informasi RS berbasis IT sehingga perkembangan ilmu dibidang inipun akan menjadi semakin cepat dan luas. Diharapkan pengembangn SIM RS berbasis open system ini diinisiasi oleh perguruan tinggi dan didanai oleh pemerintah maupun sumber lain.
Perlu keberanian direksi RS
Dalam hal ini direksi RS perlu melakukan keberaniann untuk berubah ke open-system. Keberanian ini perlu didukung oleh konsultan tim IT yang baik, sistem kerjasama antara RS yang menggunakan model chain-hospital (jaringan rumahsakit). Persiapan ini tidak mudah dan perlu waktu yang cukup.
Isu 3: Apa yang dikerjakan oleh PMPK UGM
PPMPK UGM telah memulai pengembangan sistem Itrumahsakit yang open-system dan open-source sejak beberapa tahun yang lalu dimana sistem dikembangkan secara modular. Modul Billing System adalah yang pertama dikembangkan dan telah diaplikasikan di beberapa RS Daerah, dan dikembangkan juga oleh beberapa RS swasta RS vertikal. Saat ini pengembangan yang telah dilakukan tim UGM meliputi modul sistem billing, sistem inventory dan sistem aset (sedang dalam pengembangan) yang pada akhirnya akan menuju pada sistem akuntansi yang utuh. Modul modul ini relevan untuk menyiapkan RS dalam menghadapi era diberlakukannya UU mengenai BPJS.
Untuk mensosialisasikan upaya yang telah dilakukan, maka dipandang perlu mengadakan suatu seminar yang akan memaparkan hasil-hasil pengembangan dan mengumpulkan masukan dari pihak-pihak yang diharapkan untuk kemajuan pengembangan lebih lanjut.
Tujuan
Seminar ini secara lebih spesifik bertujuan untuk:
- Membahas kebijakan pemerintah dalam pengembangan SIM RS yang bersifat Open-System dan Open-Source
- Mensosialisasikan progress pengembangan SIM RS berbasis open system yang telah dikembangkan oleh PMPK FK UGM
- Mendapatkan masukan untuk pengembangan lebih lanjut
- Menyusun strategi implementasi sistem di RS.
Peserta
Diharapkan pada seminar ini hadir:
- Dirjen BUK dan stafnya di Kementerian Kesehatan RI
- ARSADA Pusat
- ARSADA Jateng
- ARSADA Jatim
- Asosiasi RS Pendidikan
- Asosiasi RS Vertikal
- RS Akademik UGM
- SIMKES
- RSUP Dr. Sardjito
- Para pemerhati dan konsultan manajemen RS.
Agenda
Sesi 1: 09.00 – 10.00
Topik presentasi:
- Overview tentang ideologi open system; perbedaannya dengan close system dan free-ware
- Konsep pengembangan SIM RS berbasis open system untuk RS nirlaba, RS Pendidikan dan hubungannya dengan konsultan IT.
Pembicara:
Pembahas: dr. Ahmad Subagyo, MARS
Sesi 2: 10.30 – 12.30
Topik presentasi
- Pengembangan SIM RS yang dikerjakan oleh PMPK FK UGM
- SIA berbasis open system untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan RS
- Demo software
- Diskusi, pembahasan dan penyusunan rencana tindak lanjut
Pembicara: DR Anastasia Susty Ambarriani, MSi, Akt.
Penutup dan makan siang
Rekaman Audio Streaming:
Seminar Sistem Informasi RS berbasis Opensource
*untuk download materi silahkan klik pada nama pembicara
Kontinuitas Program tanpa Anggaran; Mungkinkah?
Gedung khusus untuk perawatan Ibu dan Anak di RSUD Atambua, NTT
Program Sister Hospital yang dikoordinatori oleh PMPK FK UGM, dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Provinsi NTT, AIPMNH dan beberapa RS Pendidikan besar di Indonesia telah memasuki fase dari dua tahun yang direncanakan. Pada fase ini, semua RS yang terlibat telah mulai menyiapkan exit strategy masing-masing agar apa yang telah dilaksanakan di RSUD-RSUD di NTT dapat terjamin kesinambungannya.
Sebagaimana diketahui, tujuan utama program Sister Hospital ini adalah untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di NTT. Strategi yang ditempuh adalah health service provision, yaitu dengan mengirimkan residen senior atau dokter spesialis dari RS Pendidikan besar di Jawa, Bali dan Sulsel (RS Mitra A) ke RSUD-RSUD di NTT (RS Mitra B) sehingga availabilitas tenaga ahli dapat lebih terjamin. Selain tenaga dokter, juga dilakukan pengiriman tenaga perawat dan bidan untuk memperkuat PONEK di RS Mitra B. Untuk lebih menjamin kontinuitas dari output program, ada kegiatan capacity building untuk mentransfer knowledge dari RS Mitra A ke RS Mitra B. Kegiatan ini antara lain melalui program magang khususnya tenaga perawat PONEK dari Mitra B ke ruang perawatan di RS Mitra A.
Disisi lain, system yang dibangun oleh program Sister Hospital dan PML belum menyentuh semua aspek. Dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun dan keterbatasan SDM, improvement belum dapat dikerjakan disemua aspek sekaligus. Namun apa yang sudah dicapai perlu dipertahankan, dan improvement di aspek lain perlu diteruskan oleh RS secara mandiri.
Komite medis juga tampaknya belum menjalankan fungsi sebagai pengawas mutu yang baik. Hal ini salah satunya tampak pada banyaknya resep yang tidak sesuai dengan formularium, padahal persediaan obat dan alkes di RS lebih up to date – karena disusun berdasarkan masukan dari Tim RS Mitra A – dibandingkan dengan obat yang diresepkan oleh oknum dokter spesialis di RSUD. Ini membuat banyak pasien harus membeli obat di luar RS dan persediaan RS jadi tidak terpakai. Dalam hal ini, RS perlu punya mekanisme pengawasan dan evaluasi kepatuhan terhadap formularium.
Kunjungan di Rumah Sakit Pranangklao, Provinsi Nonthaburi
Informasi Umum Provinsi Nonthaburi
Direktur RS Pranangklao menjelaskan tentang informasi umum terkait Provinsi Nonthaburi. Populasi penduduk yang tercatat adalah 1.394.335 penduduk, sedangkan yang belum tercatat sekitar 500.000. Pertumbuhan penduduk diperkirakan sekitar 5,1% dan ratio umur > 60 tahun sebesar 11,29 % (data-data ini berdasarkan data 2011 dari Ministry of Interior / Office of the Strategic Planning, Ministry of Health).
Jumlah Rumah Sakit yang ada di Nonthaburi adalah :
– General Hospital (Pranangklao Hospital) berjumlah 515 beds
– Community Hospital (5 RS) berjumlah 175 beds
– Medical Center of Panyanandha Bhikku Jalaprathan Srinakarindraviro University berjumlah 300 beds
– Specialized Hospitals berjumlah 3 RS
– Private Hospitals berjumlah 7 RS
RS Pranangklao dibangun tahun 1957, dan mulai dibuka dan beroperasi pada tanggal 24 Juni 1957. Nama awalnya sebelum menjadi RS Pranangklao adalah RS Nonthaburi, dan tahun 1989 berubah menjadi RS Pranangklao yang merupakan RS Umum di Provinsi Nonthaburi.
Level pelayanan kesehatannya adalah :
- Primary care
- Secondary care (primary, intermediate, high)
- Tertiary care :
- Tertiary care (RS Pranangklao)
- Excellent center
RS Pranangklao mempunyai 515 tempat tidur, dengan SDM sejumlah 1.478 orang. SDM ini terdiri dari 106 dokter, 22 dokter gigi, 37 farmasi, 488 perawat, 120 paramedis, dan 725 staf pendukung lainnya.
Seperti yang sudah diterangkan pada saat kunjungan di National Health Security Office (NHSO) bahwa Skema Sistem Kesehatan di Thailand adalah sebagai berikut :
– PNS dengan mengikutsertakan keluarganya (CSMBS – Civil Servant Medical Benefit Scheme)
– Social Security Scheme for Private Employees (SSS)
– The Workmen’s Compensation Scheme (FWS)
– Universal Coverage Scheme (UC) or the 30 Bath scheme for all other Thai Nations (National Health Secuity Office / NHSO).
Suasana pertemuan di RS Pranangklao
Loket tempat pendaftaran
Ruang tunggu
Penjelasan bagaimana cara menggunakan KIOST untuk pendaftaran pada saat akan berobat dengan ID 13 digit
Service Delivery System di RS Pranangklao :
Kuratif :
– PMC (primary care ada di lantai 2 RS Pranangklao)
– Home Health Care – ambulatory care / rehabilitasi / pallative care
– Tertiary care / specialist (medicine, surgery, pediatrics, obstetrics dan orthopedics, urolopgy, EENT)
– Sub-specialist (cardiology, nephrology, endocrilodogy, gastroenterology)
– Peri-natology, pediatric pulmonology, pediatric dermatology)
Preventif :
– Penyakit menular dan vaksinasi
– Penyakit tidak menular / chronic disease
Promotif :
– MCH dan layanan grup remaja
– Pre-school children care
Target : Populasi yang hidup di sekitar menjadi tanggung jawab RS Pranangklao (20.000 populasi)
WORKSHOP PERSIAPAN IMPLEMENTASI BLUD DI RS PEMERINTAH DI ACEH
Ketua Arsada Aceh, dr. Taufik Mahdi, SpOG membuka Workshop
“Seluruh SKPD yang memberikan pelayanan public ditantang untuk mengembangkan inovasi. Khusus untuk RSUD di Aceh, tantangannya lebih berat lagi yaitu bagaimana mencegah atau mengurangi keinginan masyarakat untuk berobat ke Penang”. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua ARSADA Aceh, dr. Taufik Mahdi, SpOG yang sekaligus merupakan Direktur RSUD Zainoel Abidin, saat membuka workshop Penyusunan Rencana Strategis Bisnis dan Laporan Keuangan di Grand Nanggroe Hotel Banda Aceh tanggal 1 Oktober yang lalu.
Lebih lanjut dr. Taufik Mahdi, SpOG menyatakan bahwa semuanya kembali lagi ke budaya masyarakat. Pasien yang berobat ke RSUD di Aceh cenderung sulit tertib; membawa anak kecil ke dan merokok di dalam lingkungan RS meskipun sudah ada larangan, tidak mematuhi jam bezuk, dan sebagainya. Keacuhan terhadap peraturan in ibahkan seringkali berujung pada keributan antara keluarga pasien dengan petugas RS. Namun jika mereka ke Penang, mereka menjadi sangat tertib dan semua aturan dipatuhi. dr. Taufik Mahdi, SpOG juga menyoroti perbedaan cara pandang pemerintah (daerah) pada sektor kesehatan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Dalam menghadapi era perdagangan bebas dan kompetisi global, seharusnya bukan RS saja yang dituntut untuk membenahi manajemennya, melainkan juga sektor lain seperti infrastruktur, keamanan, pendidikan dan sebagainya. Daerah tidak akan siap jika hanya sektor kesehatan yang dibenahi. Demikian juga dalam kaitannya dengan implementasi BLUD, seharusnya pemerintah mendorong implementasi ini bukan hanya di RSUD melainkan juga di SKPD-SKPD lain sesuai dengan yang telah diatur dalam Permendagri 61 tahun 2007.
Ketua Panitia Workshop, Drg. Eka Darma Putra, MARS memberi sambutan
Inilah salah satu alasan masih diperlukannya workshop menyusun Rencana Strategis Bisnis dan Laporan Keuangan untuk merespon Permendagri 61/2007 tersebut, setidaknya di Provinsi Aceh. Kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah, membuat belum semua RSUD di Aceh mengimplementasikan PPK BLUD. Permendagri 61/2007 telah berlaku sejak 5 tahun yang lalu dan kemudian 3 tahun yang lalu diterbitkan pula UU no 44/2009 tentang RS yang mewajibkan seluruh RS pemerintah dikelola secara BLUD. Dari regulasi ini saja seharusnya seluruh pemerintah daerah mematuhi dengan memberikan dukungan. Namun pada kenyataannya belum semua RSUD khususnya di Aceh mendapatkan dukungan yang cukup untuk menerapkan PPK BLUD. Bahkan RSUD yang telah ditetapkan sebagai BLUD pun masih diharuskan menyusun RKA dan laporan keuangan seperti SKPD biasa. RBA akhirnya hanya dibuat untuk kepentingan internal RSUD.
Peserta pelatihan yang merupakan wakil-wakil dari RSUD Meuraxa, RSIA Subulussalam, RSUD Tamiang, RSUD Kuta Cane, RSUD Datu Beru, RSUD Jantho, RS Jiwa Aceh dan RSK Rehabilitasi Medis Aceh Timur umumnya sepakat bahwa dengan menerapkan PPK BLUD akan membuat RS menjadi lebih meningkat kinerjanya. Namun ada juga yang pesimis akan dapat menerapkan PPK BLUD dengan minimnya dukungan Pemda.
Mengingat regulasi ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun, cukup melelahkan jika bangsa Indonesia masih berkutat pada masalah kurang meratanya pemahaman yang menyebabkan rendahnya dukungan implementasi BLUD. Disisi lain, peluang untuk mengimplementasikan BLUD bukan semata monopoli RSUD melainkan juga selayaknya dimanfaatkan oleh SKPD-SKPD lain demi meningkatkan layanan publik. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya jika Pemerintah Pusat mengevaluasi pelaksanaan BLUD dari sisi ketaatan Pemerintah Daerah (dan perangkat-perangkatnya) terhadap aturan main regulasi ini, dan bertanya mengapa implementasi PPK BLUD di wilayahnya belum sesuai dengan yang telah diatur.
TELEHEALTH UNTUK CAPACITY BUILDING SDM RS
Negara Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau merupakan anugerah yang patut disyukuri, karena menjadi tempat berkembangnya jutaan spesies flora dan fauna, hungga ratusan ragam bahasa dan budaya. Ini menjadikan Indonesia sebagai point of interest yang tidak akan habis untuk di-explore. Disisi lain ini menjadi tantangan bagi penyelenggara negara dalam memeratakan pelayanan publik bagi masyarakat diseluruh pelosok tanah air.
Salah sau tantangan ini sangat dirasakan dalam mencapai target MDG 4 yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi. Untuk mencapai taget tersebut, kompetensi RS-RS di daerah terpencil harus ditingkatkan. Kesulitan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah pusat dan daerah adalah penempatan tenaga medis yang memenuhi standar mutu dan patient safety. Keterbatasan dana dan berbagai faktor lain menyebabkan jumlah tenaga dokter spesialis yang ditempatkan di berbagai RSUD tidak dapat memenuhi kebutuhan RS dan masyarakat.
Dilain pihak, bukan hanya tenaga medis yang dibutuhkan oleh RS. Agar bisa memberikan pelayanan yang baik, efisien dan akuntabel, RS perlu dikelola dengan baik oleh SDM yang kompeten dalam bidang manajemen RS. Perekrutan SDM non dokter yang sering dilakukan secara kolektif oleh pemerintah daerah sering tidak mampu memenuhi kompetensi khusus yang dibutuhkan untuk mengelola RS. Oleh karenanya, banyak pelatihan yang harus direncanakan dan didanai melalui APBD untuk memenuhi kebutuhan akan kompetensi tersebut.
Terkait dengan kondisi geografis Indonesia, pelatihan untuk memperoleh kompetensi tertentu seringkali membutuhkan biaya yang sangat besar, bukan untuk mengikuti pelatihannya melainkan untuk melakukan perjalanan dan untuk menanggulangi biaya-biaya lain diluar pelatihan. Kondisi ini kemudian yang menyebabkan terbatasnya jumlah SDM yang dapat dikirim oleh RS untuk mengikuti suatu pelatihan tertentu, yang biasanya diselenggarakan di Pulau Jawa atau kota-kota besar di Indonesia.
Untuk mengatasi kendala tersebut, kini metode pelatihan jarak jauh sudah mulai dirintis, yang diharapkan nantinya dapat berkembang menjadi suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kompetensi SDM kesehatan di daerah pelosok. Salah satu yang telah dilakukan oleh PMPK FK UGM adalah Pelatihan Sistem Akuntansi RS. Pelatihan ini menyasar para pengelola keuangan di RSUD-RSUD di Provinsi NTT dalam kaitannya dengan kegiatan Performance Management and Leadership .
Pelatihan ini menggunakan peralatan yang tergolong sederhana, yaitu seperangkat komputer yang dilengkapi dengan sambungan internet serta kamera dan mikrofon tambahan. Program yang digunakan untuk fase tatap muka adalah Skype yang dapat diunduh secara bebas. Perangkat yang sama dimiliki oleh fasilitator yang berada di Jogjakarta dan para peserta yang berada di beberapa RSUD di NTT. Pada setiap pertemuan, peserta dibatasi maksimal 3 RS, karena adanya keterbatasan jumlah pihak yang dapat terlibat dengan fasilitas Skype. Karena ada sebelas RSUD yang menjadi sasaran pelatihan, maka pertemuan ini dibagi menjadi empat kali pertemuan untuk setiap topik yang akan dibahas, dimana setiap pertemuan melibatkan dua hingga tiga RSUD.
Sebelum pelaksanaan pelatihan, peserta diminta mengunduh materi yang telah diupload di website manajemenrumahsakit.net untuk dipelajari. Saat pelatihan berlangsung, fasilitator dapat membahas materi yang telah diunduh oleh peserta dan membuka ruang diskusi dengan peserta.
Peserta
Dari sebelas RSUD di NTT yang menjadi target pelatihan, pada pertemuan awal pelatihan ada tiga RSUD (RSUD Waingapu, RSUD Larantuka dan RSUD Kefamenanu) yang gagal melakukan sambungan internet. Ini memang merupakan kendala utama selain masalah kemampuan teknis RSUD dalam megelola hubungan komunikasi jarak jauh melalui internet. Untuk ketiga RSUD ini, PMPK merencanakan akan mengulangi prosesnya agar para pengelola keuangan diketiga RSUD ini memiliki wawasan dan pengalaman yang sama dengan delapan RSUD lain yang telah berhasil menjalani sesi awal pelatihan jarak jauh ini.
Para peserta yang telah mengikuti pelatihan ini antara lain adalah:
- RSUD Ruteng (Kabag Keuangan dan staf)
- RSUD TC Hillers (Kabag Keuangan, dan staf, Kabag TU, Direktur)
- RSUD Ende (Kabag Keuangan dan staf, Direktur)
- RSUD Waikabubak (Kabag Keuangan dan staf)
- RSUD Soe (Kabag Keuangan dan staf)
- RSUD Atambua (Kabag Keuangan dan staf)
- RSUD Lewoleba (Kabag Keuangan dan staf)
- RSUD Bajawa (Kabag Keuangan dan staf)
Tiap tim di RSUD didampingi oleh mentor lokalnya masing-masing.
Kendala
Ada dua kendala yang dihadapi pada pelaksanaan pelatihan ini, yaitu kendala dari segi teknis dan kendala dari aspek konten. Dari aspek teknis, sebagaimana telah disebut sebelumnya yaitu kemampuan RSUD dalam mengelola hubungan komunikasi jarak jauh melalui internet. Untuk ini, tiap RSUD telah memiliki staf yang menguasai masalah perangkat keras dan bagaimana melakukan koneksi melalui internet.
Dari aspek konten, kendala yang dihadapi adalah belum samanya wawasan bagian keuangan RSUD di NTT khususnya terkait dengan sistem keuangan BLUD. Ada RSUD yang sudah memiliki akuntan untuk mengelola sistem akuntansi misalnya RSUD TC Hillers dan RSUD Ende, sehingga RS ini bahkan telah siap dengan bagan akun. Namun kebanyakan RSUD lain belum memiliki akuntan (misalnya RSUD Lewoleba dan RSUD Ruteng) sehingga baru pada tahap memahami sistem informasi akuntansi di RS.
Rencana Kedepan
Pelatihan ini direncanakan berlangsung hingga 6 kali tatap muka per RS. Pada akhir pertemuan diharapkan para peserta memahami tentang tata cara penyusunan laporan keuangan, apa yang harus dilakukan untuk menjalankan fungsi sebagai pengelola sistem keuangan dan akuntansi RS serta bagaimana sistem keuangan RS pasca ditetapkan sebagai BLUD. Materi yanga akan dibahas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya akan dapat diunduh dari website beberapa hari sebelum pertemuan, sehingga peserta memiliki waktu untuk mempelajari sebelum berdiskusi dengan para fasilitator.
Tulisan Terkait:
Telemedicine: Harapan baru untuk meningkatkan kapasitas RS daerah terpencil
Belajar Sistem Akreditasi dari Pengalaman Australia
LAPORAN DARI KEGIATAN AusAID AUSTRALIAN LEADERSHIP AWARD (ALA) FELLOWSHIP PROGRAM 2012
Para peserta ALA Fellowship – Strengthening the Hospital Accreditation System in Indonesia berpose di depan salah satu sudut Melbourne University
Pengantar
Undang-undang No 44/2012 telah menetapkan bahwa seluruh RS pemerintah di Indonesia harus diakreditasi secara nasional, dan tugas ini diemban oleh KARS. Namun jika melihat banyaknya jumlah RS daerah yang ada dan belum diakreditasi, padahal target Kemenkes bahwa tahun 2014 sebanyak 90% RSD terakreditasi, maka tampaknya KARS tidak bisa bekerja sendirian. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi agar dapat membantu percepatan proses akreditasi RS Daerah.
Agar dapat berperan dalam proses ini, maka kapasitas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi harus ditingkatkan. Selain itu, proses ini juga perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait langsung dengan masalah akreditasi RS, mulai dari RS sebagai user, lembaga akreditasi, asosiasi RS, Dinkes hingga Kementrian Kesehatan sebagai penentu kebijakan tertinggi sektor kesehatan. Oleh karena itu, sebanyak 13 orang yang terdiri dari utusan Kemenkes, KARS, PERSI, Dinas Kesehatan Provinsi (Jateng dan DIY) dan RS (RSUD dr. Moewardi Solo dan RSUD Kota Jogjakarta), Badan Mutu Provinsi DIY dan Universitas Gadjah Mada selama tiga minggu (3-21 September 2012) belajar tentang Sistem Akreditasi di Australia.
Program ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya yaitu kajian akademis yang dilakukan oleh UGM di Provinsi DIY, Jateng, Jatim, dan Kaltim dengan melakukan wawancara mendalam kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan direktur di beberapa RS. Wawancara juga dilakukan terhadap regulator di tingkat pusat, pengelola PERSI Pusat dan Daerah, KARS, dan Subdit Akreditasi Kementrian Kesehatan. Selain wawancara mendalam UGM juga melakukan review terhadap berbagai produk kebijakan yang ada mulai dari Undang-undang, Permenkes, Kepmenkes, Keputusan Dirjen BUK, Perda, peraturan kepala daerah hingga surat edaran yang provinsinya tidak terbatas pada yang dipilih sebagai responden untuk wawancara mendalam.
Sebelum keberangkatan peserta melakukan preliminary workshop di Jakarta untuk membahas hasil kajian akademis yang telah dilakukan UGM sebagai persiapan pembelajaran selanjutnya di Australia.
Tujuan
Program yang merupakan kerjasama antara Nossal Institut Melbourne University dengan PMPK FK UGM ini bertujuan untuk mencari pembelajaran mengenai bagaimana mengembangkan sistem akreditasi yang baik agar tujuan utama akreditasi yaitu mutu pelayanan dan keselamatan pasien dapat tercapai. Secara spesifik tujuan dari program ini antara lain:
- mempelajari mengenai bagaimana melakukan literature review yang kemudian menjadi basis untuk pengambilan kebijakan bidang kesehatan
- mempelajari mengenai pengelolaan lembaga akreditasi yang independen dan proses pengembangan standar-standar RS hingga indikator kliniknya
- mempelajari tentang sistem akreditasi secara keseluruhan dan pihak-pihak yang terkait serta perannya masing-masing.
Hasil Pembelajaran
Minggu I
Kegiatan pada minggu pertama diisi dengan orientasi peserta terhadap Nossal Institute, para pengelola dan program-programnya, mengidentifikasi harapan pada program ALA Fellowship ini dan me-review literatur. Dari hasil identifikasi harapan didapat bahwa kelompok KARS, PERSI dan RS berharap dapat belajar mengenai bagaimana indikator klinik dibangun, siapa yang menentukan, bagaimana validasi data dan monitoringnya, serta bagaimana menjaga peningkatan kualitas pelayanan. Selanjutnya…
Minggu II
Pada tiga hari pertama, peserta ALA Fellowship diberi kesempatan untuk mengunjungi ACHS (link ke web ACHS) di Sydney dan mengeksplor lebih jauh mengenai lembaga ini. ACHS merupakan lembaga seperti KARS di Indonesia, namun sangat independen baik dalam hal pengambilan keputusan maupun sumber pendanaan.Pada tiga hari pertama, peserta ALA Fellowship diberi kesempatan untuk mengunjungi ACHS (link ke web ACHS) di Sydney dan mengeksplor lebih jauh mengenai lembaga ini. Selanjutnya…
Minggu III
Minggu ketiga diisi dengan beberapa sesi dari narasumber, penyusunan kesimpulan mengenai points pembelajaran dan kegiatan penyusunan plan of action dari masing-masing kelompok. Pada minggu ini, peserta bertambah dari semula 13 orang menjadi 19 orang, dengan bergabungnya para decision makers dari Kemenkes, PERSI dan Dinas Kesehatan Provinsi Jateng dan DIY, serta dari UGM. Selanjutnya…
Pembelajaran, Isu-isu dan Rencana Kedepan
Dari berbagai materi yang telah disampaikan, berbagai diskusi dan presentasi, setidaknya ada sebelas butir pembelajaran yang bisa diambil dari tiga minggu di Melbourne dan Sydney ini. Selanjutnya…
- 1
- 2