Saat ini, angka kejadian kasus Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA semakin tinggi. Penyakit satu ini sedang menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Karena penyebarannya berada di lingkungan rumah sakit, maka penyakit ini menjadi ancaman tersendiri bagi para pasien yang menjalani rawat inap. Bisa dikatakan, MRSA adalah ‘super bakteri’ yang sulit ditaklukkan.
MRSA pertama kali ditemukan di inggris pada tahun 1961. MRSA merupakan jenis spesifik dari bakteri Staphylococcus aureus yang tahan terhadap methiciline (jenis antibiotik). Namun karena obat MRSA masih terbatas, mengakibatkan infeksi satu ini relatif sulit diobati. Dampaknya, dari tahun ke tahun, prevalensi infeksi MRSA semakin meningkat.
Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. Kuntaman, dr., MS., Sp.MK-K dalam perbincangan khusus mengungkapkan, prevalensi kejadian infeksi MRSA di berbagai rumah sakit di Indonesia terus meningkat. Menurut data, karier MRSA di tahun 2001 tercatat sekitar 0,05 persen. Saat ini, perkembangan tersebut diperkirakan naik hingga 8 persen.
Kenaikan ini juga terjadi di RSUD Dr Soetomo. Sebagai rumah sakit rujukan terbesar di Jawa Timur, RSUD Dr Soetomo tak henti-hentinya menerima pasien rujukan dari berbagai wilayah. Artinya, semakin banyak pasien yang ditangani, maka semakin tinggi pula potensi penumpukan kuman maupun bakteri di rumah sakit.
Untuk itu, Prof Kuntaman menghimbau, rumah sakit besar yang menjadi pusat rujukan harus berupaya menekan laju peningkatan infeksi MRSA. Upaya yang dilakukan tidak hanya di rumah sakit besar, tapi juga di rumah sakit tingkat dua.
“Jika tidak dilakukan, maka rumah sakit pusat rujukan hanya seperti ‘mesin cuci’ saja. Setelah pasien sembuh, masih menerima lagi pasien terinfeksi, begitu lagi dan seterusnya,” ungkapnya.
Penggunaan antibiotik yang rasional
Upaya penurunan angka infeksi MRSA dapat dilakukan melalui project eradikasi yang kini sedang diupayakan oleh Prof Kuntaman beserta sejumlah pakar mikrobiologi lainnya. Caranya adalah dengan pengendalian penggunaan antibiotik di tengah masyarakat.
Prof Kuntaman meyakini, kuncinya ada pada kebijakan pemakaian antibiotik. Karena menurutnya, hal tersebut sangat berkaitan dengan kuat tidaknya pengaruh infeksi MRSA.
“Semakin tidak baik kebijakan antibiotik, maka semakin tinggi resistensi antibiotik,” katanya.
Secara teori, tingginya infeksi bakteri disebabkan karena penggunaan antibiotik yang kurang bijak. Oleh sebab itu, masih dilakukan penelitian seputar penggunaan antibiotik oleh masyarakat Indonesia.
“Selama penggunaannya rasional, tidak akan berdampak. Tapi bagaimana jika konsumsi antibiotiknya sembarangan? Kondisi ini memicu resistensi antibiotik sehingga lebih rentan terinfeksi bakteri,” ungkapnya.
Selain meningkatkan rasionalitas pemakaian antibiotik, Prof Kuntaman juga menyarankan perlu dilakukan pula upaya peningkatan ketaatan terhadap standar higienitas, sanitasi, dan budaya cuci tangan di lingkungan rumah sakit.
Melalui penelitiannya bersama sejumlah pakar mikrobiologi lainnya, Prof Kuntaman juga sudah mematangkan sebuah konsep eradikasi melalui terapi pengobatan pasien yang terinfeksi MRSA. Mengingat bakteri MRSA menyebar dan bersembunyi di hidung, tenggorokan, dan permukaan kulit, maka konsep eradikasi menggunakan tiga konsep.
Bagaimana jika terlanjur terinfeksi?
Pertama, jika pasien benar-benar terinfeksi MRSA, maka dalam periode tertentu, pasien diwajibkan mandi menggunakan cairan antiseptik. Yang kedua, mengoles salep pada bagian hidung. Dan untuk meruntuhkan ‘sarang’ bakteri MRSA di tenggorokan, maka dilakukan upaya pemberian obat antibiotik.
“Selama kondisi tubuh fit maka kemungkinan kecil terinfeksi. Lain dengan orang sakit sakit. Kuman mudah masuk, sehingga makin bertumpuk penyakit di dalam tubuh dan semakin sulit diobati,” ungkapnya.
Apakah jika telah terinfeksi dapat disembuhkan? Prof Kuntaman meyakini, selama pemberian obat sesuai maka infeksi MRSA dapat disembuhkan. Hanya saja, metode pengobatan yang tepat dan efektif memerlukan dukungan tenaga mikrobiologi yang mumpuni dan fasilitas laboratorium mikrobiologi yang canggih.
Di berbagai rumah sakit besar di Indonesia mayoritas sudah dilengkapi alat pemeriksaan yang canggih dan tenaga Mikrobiologi yang mumpuni. Namun, bagaimana dengan rumah sakit tipe dua?
Sayangnya tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas tersebut. Dampaknya terapi pengobatan yang digunakan bersifat empiris atau dugaan terdekat. Lain halnya dengan rumah sakit besar yang memiliki SDM dan laboratorium Mikrobiologi yang baik. Maka, terapi pengobatan infeksi MRSA dapat dicapai dengan terapi pengobatan yang pas dan bersifat definitif. (*)
Penulis: Sefya Hayu
Editor : Binti Q. Masruroh
Sumber: unair.ac.id