Medan. Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus menuai kritik dari masyarakat. Kali ini kritik itu dilontarkan oleh Yosafati Waruwu, Ketua Umum DPP SBSI 1992. BPJS mengatakan hal yang disesalkan DPP SBSI 1992 itu tidak boleh dilakukan rumah sakit provider.
“Pelayanan BPJS Kesehatan benar-benar buruk, tidak pernah ada jaminan peserta BPJS Kesehatan bisa dilayani dengan baik saat menggunakan kartu BPJS Kesehatan untuk perawatan di rumah sakit yang menjadi provider BPJS Kesehatan,” kata Yosafati Waruwu dalam pidatonya di acara pembukaan konferensi daerah (konferda) Serikat Buruh Sumatera Utara (SBSI) 1992 di Hotel Madani Medan, Sabtu (17/9).
Acara itu dihadiri ratusan buruh dan pengurus SBSI 1992, utusan Apindo Sumut, Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Kadinsosnakertran) Armansyah “Bob” Lubis, utusan Pemprov Sumut, dan lainnya.
Yosafati lalu mengenang salahsatu aktivis SBSI 1992 Sumut yang sudah meninggal, sewaktu masih hidup, saat hendak rawat inap di satu rumah sakit menggunakan kartu BPJS Kesehatan, disebutkan kamar rumah sakit penuh. Padahal, sambung Yosafati, ada sejumlah kamar di rumah sakit itu yang kosong dan bisa jadi ruang rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan.
Akhirnya, temannya tersebut harus menggunakan kamar rawat inap yang berbayar. “Saya juga mengalami hal yang sama saat anak saya sakit dan dirawat di rumah sakit milik seorang pengurus Apindo. Pihak rumah sakit bilang tak ada kamar kosong bagi peserta BPJS Kesehatan. Akhirnya saya harus bayar kamar yang berbayar. Enggak laku kartu BPJS Kesehatan saya,” ujar Yosafati.
Situasi ini justru jauh berbeda saat pelayanan kesehatan buruh ditangani oleh PT Jamsostek melalui Jaminan Kesehatan. Kata dia, buruh bahkan bisa menelepon pihak Jamsostek bila tidak mendapatkan pelayanan memadai dari pihak rumah sakit.
Kini, kalau buruh atau warga biasa menemui kendala dalam penggunaan kartu BPJS kesehatan di rumah sakit. Buruh atau masyarakat tidak tahu harus mengadu ke mana. “Sebab buruh tak bisa mengakses langsung pegawai BPJS Kesehatan bila menghadapi masalah pelayanan kesehatan di rumah sakit,” ujar Yosafati.
Bahkan pembiayaan kesehatan buruh saat masih dipegang Jamsostek, sepenuhnya ditanggung pihak perusahaan tempat buruh bekerja. Kini, saat dipegang BPJS Kesehatan, buruh harus berbagi pendapatan dengan pihak perusahaan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Ia merasa patut curiga dan cemas ada praktik tidak sehat dalam kasus “Tidak ada kamar rawat inap kosong bagi peserta BPJS Kesehatan”. Sebab, peserta BPJS Kesehatan membayar iuran setiap bulan dan tak ada satu rupiah pun dari iuran itu yang bisa menjadi dikembalikan ke peserta BPJS Kesehatan.
“Kalau disebut kamar kosong bagi peserta, padahal peserta sudah bayar iuran per bulan, ini kan berarti iuran BPJS Kesehatan tak dipakai. Jadi kalau tak dipakai dana BPJS Kesehatan ke mana larinya? ” gugat Yosafati.
Yosafati menilai inilah dahsyatnya liberalisasi di segala sektor, termasuk layanan kesehatan, yang dipaksakan oleh pihak asing. Jika sebelumnya negara yang menjamin kesehatan warganya, kini warga sendiri harus menanggung biaya kesehatannya sendiri, bukan lagi sepenuhnya urusan perusahaan. “Liberalisasi itu mensyaratkan adanya efesiensi dalam segal hal, termasuk layanan kesehatan. Efisiensi itu kan sering diartikan sebagai pemotongan anggaran,” kata Yosafati.
Pihak perusahaan pasti bersyukur dengan adanya BPJS Kesehatan karena tak lagi 100% memikirkan biaya kesehatan para pekerjanya. (hendrik hutabarat/ rozie winata)
Sumber: medanbisnisdaily.com