BANDAR LAMPUNG — Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekes Lampung, Karbito mengatakan limbah rumah sakit yang tidak dikelola dengan baik berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat maupun lingkungan, di antaranya menimbulkan penyakit kulit hingga penularan penyakit HIV-AIDS.
“Namun, yang harus digarisbawahi mengenai pengertian limbah itu sendiri. Kita harus dapat memahami jenis limbah yang ada, karena limbah itu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah padat (sampah) dan limbah cair (air limbah),” kata Karbito kepada Lampung post saat ditemui di kantornya, Rabu (6/4/2016).
Dilihat dari aspek penanganan, tentu saja berbeda dengan jenis limbah yang satu dengan lainnya. Sebab, harus disesuaikan dengan karakteristik dari limbah itu sendiri. Jika dikelompokkan, limbah padat untuk di rumah sakit, ada dua jenis yaitu limbah padat medis (limbah medis) dan limbah nonmedis.
Dia menjelaskan untuk limbah nonmedis merupakan sampah-sampah yang dihasilkan dari ruangan-ruangan. Tetapi, limbah tersebut tidak berpotensi menularkan penyakit secara langsung, sama halnya sampah yang ada di rumah tangga. Dan penanganannya bisa mengikuti aturan bagaimana pengelolaan limbah sampah pada umumnya.
Sementara itu, jika dilihat dari sumbernya. Limbah medis terdiri dari beberapa jenis, di antaranya limbah medis infeksius, yaitu limbah yang berpotensi menularkan penyakit, baik penyakit antarpasien, pasien dengan pengunjung, pasien dengan perawat dan sebagainya. Biasanya, limbah tersebut dihasilkan dari penderita penyakit menular, yaitu penyakit yang mengandung virus seperti HIV-AIDS dan hepatitis C.
Kedua, limbah medis yang bersumber dari jaringan tubuh, di antaranya limbah hasil tindakan, limbah alat-alat medis, berupa jarum suntik dan sebagainya. Selanjutnya, limbah yang berasal dari ruang radiologi, yang bersifat radio aktif, ruang farmasi, dan sebagainya.
“Artinya, ketika diidentifikasi. Harus ada penanganan yang khusus. Tidak bisa diperlakukan seperti limbah non medis,” kata dia.
Biasanya, terkait penanganan limbah medis, setiap rumah sakit memiliki standar pengelolaan yang sesuai. Minimal memiliki alat penghancur seperti insenerator. “Alat ini diharuskan ada bagi setiap rumah sakit, terlebih rumah sakit yang besar,” ujarnya.
Secara teknis, limbah medis tersebut seharusnya dikumpulkan melalui sumbernya, dengan standar tersendiri. Agar tidak berdampak penularan kepada masyarakat dan petugas dan sebagainya. Kemudian, sampai pada proses pemusnahan.
Untuk limbah cair, kata dia, biasanya bersumber dari sepiteng WC. Dan ada juga berasal dari proses pembersihan alat medis dan sebagainya.
Penanganannya, lanjut dia. Pertama, menggunakan sistem terpisah, yaitu antara limbah WC dan yang lain, biasanya langsung secara setempat. Artinya, diwajibkan setiap ruangan memiliki sepiteng masing-masing.
Kalau untuk limbah cair yang berasal dari luar sepiteng, akan dijadikan satu, yakni instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). “Biasanya, itu dikhususkan untuk kamar mandi tetapi non-WC, kemudian akan dialirkan ke instalasi pengelolaan air limbah secara terpisah,” ujarnya.
Masuknya limbah ke saluran IPAL, harus dilakukan pengelolaan dengan baik. Sebab, dalam limbah tersebut banyak sekali kandungan berbahaya terhadap masyarakat dan lingkungan. “Yang jelas, ketika limbah tersebut dibuang ke badan air. Harus diberi tambahan bahan desinfektan berupa cairan dan bubuk untuk membunuh bakteri sehingga tidak mengganggu pencemaran lingkungan,” kata dia.
Sumber: lampost.co